Jakarta, FORTUNE – Lembaga perdagangan komoditas daging, Meat and Livestock Australia (MLA), mengungkapkan bahwa literasi masyarakat Indonesia soal Daging Domba (lamb) masih menajdi tantangan utama dalam memPenetrasi Pasar Indonesia.
Chief Representative MLA Indonesia, Christian Haryanto, mengatakan saat ini masih banyak persepsi kurang tepat di tengah masyarakat seperti anggapan bahwa daging domba bisa menyebabkan darah tinggi, kolesterol, dan penyakit lainnya.
“Padahal, lamb ini memiliki kandungan zat besi dan protein yang paling tinggi dibandingkan sumber protein–hewani–yang lain,” ujarnya kepada Fortune Indonesia, di Restoran Sudestada, Rabu (4/9).
Menurutnya, hal yang membuat daging domba bisa menyebabkan penyakit justru terdapat pada cara memasak dengan pencampuran berbagai bahan lain seperti santan atau garam dengan jumlah yang banyak. Selain itu, aroma yang kurang sedap dan harga jual yang cukup tinggi kerap menjadi alasan utama konsumsi daging domba di Indonesia masih rendah.
“Pertumbuhan impor daging domba–dalam 3 tahun terakhir–mengalami pertumbuhan yang cukup baik, dengan rata-rata mencapai 30 persen per tahun. Tapi, memang dari volume dan nilai memang masih kecil dibandingkan daging lainnya, seperti sapi misalnya,” kata Haryanto.
Menurutnya, potensi pasar daging domba di Indonesia masih terbuka luas, dengan populasi Indonesia yang besar, konsumsi daging masyarakat Indonesia masih tersegmentasi pada daging sapi atau ayam.
Dengan demikian, peluang bagi komoditas daging domba asal Australia masih terbuka luas, dengan kompetitor yang belum begitu banyak.
Kolaborasi
MLA bekerja sama dengan pemerintah Australia, seperti negara bagian Victoria, untuk meningkatkan edukasi daging domba di tengah masyarakat Indonesia. Salah satunya, melalui kerja sama dengan sejumlah restoran dan chef ternama, yang sudah biasa mengolah masakan berbahan dasar lamb.
Menurut Haryanto, kerja sama yang dilakukan sebenarnya tidak terbatas dengan siapa pun di Indonesia. “Tapi, karena anggaran terbatas, maka kami memilih beberapa pilihan outlet dan sosok chef saja. Tidak semua restoran juga mampu membeli lamb kemudian menjualnya. Makanya, kami masih fokus di pasar middle up, karena harganya yang tergolong tinggi dibandingkan jenis daging lainnya,” katanya.
Salah satu pihak yang diajak kerja sama ada restoran khas Argentina, Sudestada. Bahkan, MLA bersama pemerintah negara bagian Victoria menunjuk Executive Chef sekaligus co-founder Sudestada Jakarta, Victor Taborda, sebagai duta daging domba–disebut Lambassador–untuk pasar Indonesia.
“Kami berkomitmen untuk mempromosikan kualitas unik daging domba Australia ke seluruh dunia. Bergabungnya Chef Victor Taborda dalam program Lambassador 2024 merupakan perwujudan dari misi kami untuk menghubungkan para chef dari seluruh dunia, termasuk Indonesia, dengan pilar industri ini,” kata Haryanto.
Lambassador 2024
Program Lambassador 2024 bertujuan untuk mempromosikan daging domba Australia dalam skala global, menghubungkan chef dari seluruh dunia dengan produsen dan tradisi di balik produk unggulan ini.
Melalui program ini, Chef Taborda dan rekan-rekannya sesama Lambassador akan mendapatkan wawasan tentang praktik peternakan berkelanjutan, teknik memasak inovatif, dan karakteristik unik yang menjadikan daging domba Australia sebagai bahan makanan kelas dunia.
Commissioner for Victoria to Southeast Asia, Victorian Government Trade & Investment, Naïla Mazzucco, mengungkapkan antusiasmenya pada program Lambassador 2024 yang tidak hanya menampilkan kualitas premium daging domba Australia, tetapi juga semangat inovatif komunitas kuliner negara bagian Australia tersebut.
“Kami yakin kolaborasi ini akan terus memperkuat hubungan erat antara Victoria dan Indonesia, dan menginspirasi kreasi kuliner baru yang menyoroti keunggulan produk Victoria, terutama daging domba,” katanya.