Jakarta, FORTUNE – Pengunduran diri CEO perusahaan perlengkapan olahraga global, Nike, John Donahoe yang telah memimpin sejak 2020 meninggalkan pelajaran berharga bagi sang jenama. Intinya: penjualan berbasis teknologi bukanlah segalanya.
Fortune.com menuliskan, John Donahoe–yang berlatar pengalaman panjang di eBay–membuat Nike mengarah ke perusahaan teknologi, hingga memiliki aplikasinya sendiri untuk menjual produk langsung kepada konsumen secara daring. Namun, sayangnya pengetahuan teknologi ini tak diiringi dengan pemahaman mendalam tentang sepatu kets dan budayanya, ditambah pengalaman ritel di toko.
“Ia meremehkan pentingnya mitra seperti Macy's, DSW, dan Foot Locker dalam menjual sepatu larinya, dan sebagai mantan konsultan manajemen, pemotongan biaya terbukti menjadi taktik andalannya. Tetapi hal itu hanya memperburuk masalah Nike,” tulis Fortune.com Sabtu (23/9).
Meski Donahoe dinilai sukses membuat Nike bertahan di era pandemi, dengan terobosan pembelian perlengkapan olahraga melalui aplikasi e-Commerce, namun Nike jadi melupakan inti bisnisnya yang fokus pada produk sepatu olahraga dan pembinaan komunitas pelari–yang jadi kunci penjualan di akar rumput.
Alih-alih fokus pada inti bisnis yang memang berpangkal pada penyediaan produk bagi para atlet, Donahoe justru membuat terobosan produk yang lebih memanjakan ‘gaya hidup’. Bahkan, Donahoe memutuskan untuk berhenti menjual pakaian Nike ke pengecer seperti Dillard's dan Urban Outfitters, dan mengurangi jumlah barang dagangan yang dijual di mitra seperti Macy's dan Foot Locker.
Konsumen pun lambat laun mulai bosan denga terobosan produk ‘gaya hdup’ ini, seiring munculnya jenama-jenama baru yang lebih segar dan perlahan menggantikan dominasi Nike di toko-toko yang selama ini jadi andalan Nike. Sebut saja, Hoka, On Running, hingga New Balance, mulai mengambil hati para konsumen dan mendapatkan pangsa pasarnya.
Akibat
Akibatnya bukan hanya konsumen yang mulai meninggalkan Nike, namun internal perusahaan pun mulai merasakannya. Pada Desember 2023, Nike memangkas proyeksi pendapatannya untuk pertama kalinya.
Donahoe, kembali ke taktik yang dikenalnya sebagai mantan konsultan manajemen, mengumumkan rencana pemangkasan biaya tiga tahun sebesar US$2 miliar, salah satunya ditandai dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada sekitar 2 persen pekerjanya.
Sudah ditinggalkan konsumen, aksi Donahoe pun mulai mengikis kepercayaan para pekerja pada perusahaan. Sayangnya, pertumbuhan perusahaan yang melambat justru membuat Donahoe menyalahkan tren kerja jarak jauh dan kebiasaan menggunakan Zoom dalam pekerjaan.
Mantan CMO Nike, Massimo Giunco, mengomentari aksi Donahoe pada perusahaan di media sosial seperti LinkedIn. "CEO Nike tidak berasal dari industri tersebut," tulisnya. "Pada akhirnya, dia adalah orang yang kurang mendapat nasihat dan 'berbasis data.”
Pada Juni tahun ini, perusahaan memangkas perkiraan pendapatannya lagi, yang menyebabkan penurunan saham terbesar yang pernah ada dan penurunan kapitalisasi pasar sebesar US$24 miliar.
Penderitaan pun seolah menemui titik cerah, ketika Donahoe mengumumkan pengunduran dirinya dari kursi tertinggi manajemen Nike, dan nama Elliott Hill–mantan pekerja yang pernah bekerja di Nike lebih dari 30 tahun–muncul untuk menggantikannya–mulai bekerja pada pertengahan Oktober 2024.
Menurut Fortune.com, pengunduran diri Donahoe dan masuknya Hill, membuat saham Nike pun melonjak hingga 7 persen.