Jakarta, FORTUNE - Generasi Z tampaknya semakin menghindari peran manajemen menengah yang penuh tekanan. Dalam dua tahun terakhir, perusahaan teknologi besar telah memangkas posisi manajer menengah, dan Amazon baru-baru ini mengikuti langkah tersebut. Kini, generasi muda bahkan tidak tertarik untuk naik dalam hierarki perusahaan. Demikian dilaporkan Fortune.com.
Menurut survei oleh perusahaan rekrutmen Robert Walters, sebanyak 72 persen pekerja Gen Z lebih memilih berkembang dalam peran kontributor individu dibandingkan menjadi manajer menengah. Meskipun hanya 16 persen dari 3.600 responden yang mengatakan mereka akan menghindari peran manajemen menengah dengan segala cara, mayoritas dari mereka tampaknya tidak antusias terhadap tanggung jawab mengelola orang lain.
Lebih dari separuh responden Gen Z mengakui bahwa mereka tidak tertarik menjadi manajer menengah. Tren ini dikenal sebagai ‘conscious unbossing’. Bahkan, dari 36 persen yang mengantisipasi akan menduduki posisi manajerial suatu saat nanti, serta banyak yang mengakui bahwa mereka sebenarnya tidak menginginkannya. Apa yang menyebabkan hal ini?
Lebih memilih menjadi bos bagi diri sendiri
Tak ingin menjadi manajer, bukan berarti Gen Z tidak menginginkan kesuksesan. Namun mereka lebih memilih mencapai tujuan tersebut tanpa tanggung jawab memimpin orang lain. Lucy Bisset, direktur di Robert Walters, menyebut bahwa generasi ini lebih suka terlibat penuh dalam proyek yang mereka jalani dan membangun merek pribadi, daripada menghabiskan waktu mengelola orang lain.
Fenomena ini terlihat dari semakin banyaknya anak muda yang memilih keluar dari jalur korporat untuk menjadi bos bagi diri sendiri atau influencer. Menurut LinkedIn, pekerjaan dengan pertumbuhan tercepat kedua di kalangan lulusan Gen Z saat ini adalah "founder" atau pendiri.
Data juga menunjukkan lebih dari separuh Gen Z bersedia menjadi influencer penuh waktu jika memiliki kesempatan, dan tren ini meningkat sejak 2019. Steven Schwartz, CEO Gen Z dari Whop, mengungkapkan bahwa generasinya tidak lagi tertarik pada pekerjaan tradisional seperti konsultan atau perbankan. “Mereka lebih memilih membuat konten online dan berinteraksi dengan pelanggan secara digital,” katanya.
Trauma lingkungan kerja
Gen Z banyak menyaksikan banyak manajer menengah milenial yang kelelahan dan akhirnya dipecat. Dengan usianya yang masih muda, sebagian besar dari mereka belum mengalami penawaran peran manajemen. Namun, tidak mengejutkan jika mereka enggan menghadapinya. Faktor ini menjadi pemicu Gen Z enggan jadi manajer jika tidakk di perusahaan sendiri.
Di Google, misalnya, 12.000 manajer kehilangan pekerjaan tahun lalu, dan perusahaan memperingatkan bahwa promosi ke posisi manajerial akan semakin sulit. Di Meta, CEO Mark Zuckerberg mengurangi lapisan manajemen untuk meningkatkan efisiensi perusahaan.
Data Bloomberg menunjukkan bahwa hampir sepertiga pemutusan hubungan kerja pada tahun 2023 berasal dari posisi manajemen menengah, meningkat dari 20 persen pada 2018. Tren ini dikenal sebagai "great unbossing" dan tampaknya akan terus berlanjut.
CEO Amazon, Andy Jassy, minggu lalu mengungkapkan rencananya untuk meningkatkan rasio kontributor individu terhadap manajer sebesar 15 persen dengan memangkas jumlah manajer. Tidak hanya mereka yang dipecat, manajer menengah yang masih bekerja pun merasa kewalahan dan banyak yang memilih untuk keluar dari posisi tersebut.
Menurut studi global, 75% persenmanajer milenial mengalami stres dan kelelahan yang berujung pada keinginan untuk keluar dari peran manajerial. Hampir 70 persen responden Gen Z mengaku menghindari pekerjaan manajemen menengah karena dianggap terlalu penuh tekanan dan kurang imbalan.
Bisset menjelaskan, "Mereka yang baru dalam manajemen menengah sering menghadapi lonjakan beban kerja dan tekanan untuk selalu tersedia, selain harus mencapai target pribadi. Tak heran jika banyak yang enggan mengambil tanggung jawab tambahan ini."