Jakarta, FORTUNE - Kementerian PerIndustrian (Kemenperin) melaporkan Indeks Kepercayaan Industri (IKI) pada April 2024 menyentuh angka 52,30 atau turun 0,75 dari Maret lalu yang mencapai level 53,05.
Penurunan nilai IKI dipengaruhi oleh menurunnya nilai variabel pesanan baru dan persediaan produk.
Nilai IKI variabel pesanan baru menurun 2,32 poin menjadi 51,93, sedangkan nilai IKI variabel persediaan produk menurun 1,61 poin menjadi 54,02.
“Meskipun ekspansinya melambat, hal ini merupakan sinyal baik untuk industri di tengah kondisi iklim usaha global saat ini,” kata Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif, dalam keterangan tertulis yang dikutip Selasa (30/4).
Berbeda dari dua variabel lainnya, kata Febri, nilai IKI variabel produksi mengalami peningkatan 2,43 poin menjadi 51,76.
Dia mengatakan penyebabnya adalah persediaan yang telah diserap secara optimal pada Maret lalu perlahan mulai kembali diproduksi. Namun, peningkatan biaya produksi seperti biaya bahan baku, energi, dan peningkatan biaya logistik tentu berpengaruh pada harga jual dan keputusan berproduksi.
Penurunan nilai IKI terjadi pada 16 subsektor dari 23 subsektor industri pengolahan nonmigas. Selain faktor ketidakpastian ekonomi global, beberapa faktor yang mendorong penurunan nilai IKI bersifat musiman, yakni libur hari raya Idulfitri dan cuti bersama yang menyebabkan aktivitas industri menurun berkurangnya hari kerja.
“Kondisi dalam negeri, seperti kenaikan harga bahan pangan yang mendorong masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya, juga berdampak pada penurunan nilai IKI pada periode ini,” ujarnya.
Tingkat optimisme pelaku industri terjaga
Febri mengatakan perlambatan nilai IKI dan penurunan kegiatan usaha industri tidak membuat pelaku usaha industri di Indonesia pesimistis. Malah, optimisme pelaku usaha dalam enam bulan ke depan terus naik dari 72,3 persen menjadi 72,7 persen, yang merupakan nilai tertinggi sejak IKI dirilis.
Adapun subsektor yang paling optimis dalam enam bulan ke depan adalah subsektor industri kertas dan barang kertas, diikuti industri pencetakan dan reproduksi media rekaman, serta industri makanan.
“Tingkat optimisme yang tinggi ini dikarenakan kepercayaan pelaku usaha terhadap kebijakan pemerintah pusat, dan perbaikan kondisi ekonomi global kedepan,” ujarnya.
Sektor potensial yang menyumbang devisa
Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka, Reni Yanita, mengatakan penyebab ekspansi pada industri pengolahan lainnya selama dua bulan berturut-turut ini adalah perbaikan kinerja ekspor.
Beberapa subsektor ini juga masih berpotensi besar untuk peningkatan devisa, yaitu industri perhiasan, mainan, dan bulu mata palsu.
Langkah yang dilakukan Kemenperin untuk menjaga kinerja industri ini antara lain dengan menjaga pasar ekspor, mengoptimalkan pembelanjaan atau konsumsi dalam negeri dengan peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), serta mengoptimalkan kerja sama internasional agar produk lokal dapat masuk ke pasar internasional—khususnya dari sisi bea masuknya.
“Terkait perubahan teknologi pada industri besar, Kementerian Perindustrian telah mengidentifikasi tiga KBLI (24, 26, dan 30) untuk dapat dikerjasamakan antara industri kecil dan besar dalam hal pembinaan dan alih teknologi, sehingga dapat meningkatkan kinerja industri tersebut,” katanya.