Jakarta, FORTUNE – Converse, anak perusahaan terbaru Nike, merasakan dampak dari rencana penghematan biaya besar-besaran hingga US$2 miliar yang ditempuh perusahaan induknya. Setidaknya, dua persen dari total karyawannya akan menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK).
Laman Fortune memberitakan, Rabu (16/5), bahwa manajemen Converse perlu mengambil langkah ini untuk keberlanjutan bisnisnya pada masa mendatang.
“Ada penyelerasan kembali pada beberapa tim kami demi mengoptimalkan cara kami bekerja untuk mendukung peluang pertumbuhan terbesar kami,” demikian keterangan perusahaan itu.
Pemangkasan pegawai yang dilakukan Converse terjadi setelah Nike mengumumkan hal serupa di kantor pusatnya yang dimulai pada Februari lalu, dan akan berdampak pada 740 pekerjanya hingga akhir Juni depan.
Pada Desember tahun lalu, Nike mengumumkan rencana penghematan biaya melalui pengurangan tenaga kerja, pengetatan pasokan, peningkatan penggunaan otomatisasi, dan restrukturisasi manajemen.
Direktur Keuangan Nike, Matt Friend, mengatakan perlambatan daya beli konsumen menjadi penyebab bagi perubahan strategi perusahaan. Perlambatan tersebut tersirat dalam laporan kinerja perusahaan kuartal I-2024 yang hanya menunjukkan pertumbuhan 1 persen menjadi US$13,4 miliar—dibandikan dengan periode sama tahun sebelumnya.
Kendati punya pasar sangat besar di Amerika Serikat, Nike harus bersusah payah menjalani persaingan ketat pada Industri Alas Kaki.
Friend mengatakan konsumen dunia saat ini tengah menerapkan sikap berhati-hati dalam membelanjakan uangnya.
“Kami tahu dalam lingkungan seperti ini, ketika konsumen berada di bawah tekanan dan aktivitas promosi lebih tinggi, hal-hal baru dan inovasilah yang menyebabkan konsumen bertindak,” ujarnya.
Meskipun sepenuhnya dimiliki oleh Nike, Converse memiliki pemasaran, pengembangan, dan rantai pasokan sendiri yang beroperasi secara terpisah dari induknya. Namun, bukan berarti Converse tidak berkontribusi terhadap permasalahan yang dihadapi Nike.
Pada laporan terbaru, Converse hanya menyumbang 5 persen dari total penjualan Nike. Pendapatan Converse merosot hampir 20 persen menjadi US$495 juta pada kuartal ketiga. Perusahaan tersebut melaporkan pendapatannya pada Maret lalu.
Terlambat melakukan penyesuaian tren
Analis riset senior Jane Hali & Associates, Jessica Ramírez, mengatakan kinerja buruk Converse disebabkan oleh keterlambatan dalam mengadopsi tren yang menarik bagi generasi muda di tengah banyaknya pilihan sepatu. Masalah ini serupa dengan apa yang dialami Nike secara keseluruhan.
“Pilihan bagi konsumen saat ini sangatlah banyak,” ujarnya.
Ramírez mengatakan kebiasaan pada era-pandemi telah memberikan dampak bagi olahraga lari. Hal ini mendorong merek-merek seperti On dan Hoka yang mendominasi sektor sepatu olahraga karena mereka mampu menarik semakin banyak pelari biasa.
Merek sepatu asal Swiss, On, mencatatkan lonjakan penjualan hingga 29 persen secara tahunan pada kuartal pertama dengan mengantongi US$560 juta.
Hoka pun membuat langkah serupa dengan pertumbuhan penjualan sebesar 21,9 persen menjadi US$429,3 juta dari kuartal yang sama tahun sebelumnya.
Untuk sepatu gaya hidup, konsumen lebih memilih Adidas Samba dan Gazelle dibandingkan dengan Air Force 1 dan Air Jordan 1 yang pernah diandalkan Nike. Penjualan Adidas di Eropa meroket 14 persen pada kuartal terakhir, sebagian besar karena popularitas dua jenis sepatu klasik tersebut.