Tekstil dan Alas Kaki Diprediksi Belum Baik Hingga 18 Bulan ke Depan
Terganggu perekonomian negara mitra utama ekspor.
Jakarta, FORTUNE - Industri sektor alas kaki, kulit, serta tekstil dan produk tekstil (TPT) tercatat masih mengalami kontraksi berdasarkan Indeks Kepercayaan Industri atau IKI, yang pada Mei 2023 masih dalam tahap ekspansi 50,9 atau menurun 0,48 poin dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Adie Rochmanto Pandiangan, menjelaskan industri tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki mengalami kontraksi akibat stagnasi ekonomi dan inflasi di negara mitra utama ekspor.
Sekitar 65 persen pasar industri padat karya ini mengandalkan ekspor. Pemulihan kinerjanya sulit karena bersandar pada kondisi perekonomian dan geopolitik negara lain.
“Kita sampaikan ini berdasarkan analisa dari berbagai lembaga kita ajak diskusi. Kita yakin mereka melakukannya dengan independent, dan terakhir oleh Bank Indonesia. Padat karya atau sektor consumer goods ini 17 sampai 18 bulan belum bisa membaik. Itu terus terang saja,” katanya dalam konferensi pers, Rabu (31/5).
Untuk mengatasi hal tersebut, pihaknya berupaya memperluas pasar luar negeri dengan percepatan pelaksanaan perjanjian IEU-CEPA, serta pembukaan pasar non-tradisional seperti Afrika.
Pun demikian, Adie melihat ada sedikit peningkatan permintaan ekspor pada sektor alas kaki, seperti tecermin pada rata-rata utilisasi pabrik yang saat ini mencapai 89 persen.
Selain itu, Kemenperin berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator bidang Perekonomian mengenai masalah impor ilegal dan peningkatan pengawasan barang impor hingga ke pelabuhan terkecil. Lalu, menyusun larangan terbatas untuk tekstil dan produk tekstil (TPT), serta mengusulkan penambahan pasal kewajiban pelaku usaha mencantumkan nomor registrasi barang K3L dan NPB atau SNI pada tampilan perdagangan elektroniknya untuk produk TPT dan alas kaki.
“Pasar domestik kita jaga dengan berbagai kebijakan seperti [larangan terbatas] dan lainnya,” ujarnya.
Waspada deindustrialisasi sektor TPT dan alas kaki
Tanpa disadari, persoalan demi persoalan kian menggerogoti industri TPT dan alas kaki nasional. Di usia satu abad, seharusnya Indonesia sudah punya segudang pengalaman mengatasi beragam hambatan.
Merunut sejarahnya, gejala deindustrialisasi TPT dan alas kaki bukanlah hal yang baru. Pada 2006–2008, bahaya tersebut mengancam ketika dunia dilanda krisis keuangan. Kemudian, pada 2015 alarm deindustrialisasi kembali berbunyi. Saat itu, restrukturisasi mesin dan peralatan menjadi salah satu langkah yang ditempuh pemerintah.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, menyebut kondisi daya saing industri TPT dan alas kaki di Indonesia dipengaruhi oleh siapa kompetitor yang bermain di pasar domestik dan pasar luar negeri.
“Mereka juga harus berhadapan dengan produsen TPT dan alas kaki dari negara lain yang mungkin punya cara produksi lebih efisien dan canggih,” ujarnya.
Ahmad berharap pemerintah segera mengambil kebijakan industrial yang berdampak signifikan. Misalnya, pemerintah mulai menghitung biaya produksi yang dikeluarkan oleh perusahaan padat karya di dalam negeri dan perusahaan sejenis di negara lain, lalu dirumuskan insentif fiskal dan nonfiskal. Insentif ini perlu menyasar aspek energi, peralatan/teknologi, hingga ketenagakerjaan.