Jakarta, FORTUNE - Konferensi Tingkat Menteri ke-13 (KTM13) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (PEA), tidak menghasilkan kesepakatan mengenai Cadangan Pangan publik (public stockholding) dan pembatasan subsidi perikanan serta pemberlakuan khusus bagi nelayan kecil.
Namun, para anggota sepakat untuk memperpanjang moratorium pengenaan bea masuk pada perdagangan e-commerce selama dua tahun lagi, atau paling lama 31 Maret 2026.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Djatmiko B. Witjaksono, mengatakan bahwa Indonesia dan negara-negara anggota G33, negara-negara Afrika, Karibia, dan Pasifik, mendorong adanya kesepakatan public stockholding untuk ketahanan pangan.
Dalam pembahasan konferensi tingkat tinggi ini, ada beberapa negara yang menyatakan tidak setuju sehingga konsensus atas kebijakan ini tidak tercipta.
“Ada pandangan negara lain ini akan mendistorsi perdagangan, karena ini masuk pada isu-isu yang menggangu perdagangan dan perlu jadi perhatian berbagai pihak,” kata dia dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (5/3).
Alasan lain anggota WTO, kata Djatmiko, adalah dikhawatirkan cadangan pangan tersebut akan bocor ke pasar, dan merusak harga pasar.
Untuk menjawab kekhawatiran tersebut, Djatmiko telah menjelaskan bahwa ketika forum bahwa Indonesia saat ini telah mempunyai lembaga untuk mengatur cadangan pangan seperti Perum Bulog, tetapi tidak kunjung menjadi konsensus.
Djatmiko mengatakan akan kembali membawa usulan ini dalam Konferensi Tingkat Menteri ke-14 WTO.
“Kami menganggap perlu ada instrumen yang sah. Kami ingin kebijakan [cadangan pangan] ini menjadi permanen,” ujarnya.
Indonesia sejalan dengan India
India menjadi salah satu negara yang gencar mendorong public stockholding untuk menjadi konsensus di WTO.
Menurut Fortune India, kebijakan tersebut diyakini dapat menjadi instrumen pemerintah dalam menjaga ketahanan pangan sebuah negara.
Sebelumnya, klausul public stockholding telah menjadi konsensus sementara pada KTM-9 WTO di Bali pada 2013.
Namun, terdapat beberapa kesenjangan dalam penafsiran klausul ini, yang menyebabkan negara-negara berkembang mencari solusi permanen.
Dalam forum perundingan, India menyampaikan bahwa permasalahan tersebut telah tertunda selama 11 tahun.
India berpendapat fokusnya tidak boleh dipersempit pada kepentingan perdagangan negara-negara pengekspor saja karena kekhawatiran sebenarnya adalah ketahanan pangan dan penghidupan masyarakat.
India juga mengingat perbedaan besar dalam bantuan domestik per petani yang diberikan oleh berbagai negara, sebagaimana diberitahukan kepada WTO.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa beberapa negara maju memberikan subsidi yang 200 kali lipat dibandingkan subsidi yang diberikan oleh negara-negara berkembang dan menyatakan bahwa merupakan tugas anggota WTO untuk memastikan kesetaraan dalam perdagangan pertanian internasional bagi jutaan masyarakat berpenghasilan rendah atau miskin sumber daya petani.