Sudah Bisa Produksi B100, Ini Alasan Pertamina Belum Berani Jual

Pertamina kembangkan berbagai alternatif energi bersih.

Sudah Bisa Produksi B100, Ini Alasan Pertamina Belum Berani Jual
Pengembangan biodiesel yang dilakukan Kementerian ESDM. (dok. Kementerian ESDM)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Fortune Recap

  • Pertamina NRE dapat memproduksi biodiesel B100 dari minyak sawit tanpa campuran bahan bakar minyak bumi.
  • Produksi biodiesel baru mencapai 35% karena belum mencapai harga keekonomian, sementara juga mengembangkan green hydrogen dan dekarbonisasi gasoline.
  • Pertamina NRE fokus pada pengembangan teknologi untuk menurunkan emisi di sektor energi, transportasi, dan industri di Indonesia.

Jakarta, FORTUNE - PT Pertamina New and Renewable Energy (Pertamina NRE) mengeklaim sudah dapat memproduksi Biodiesel berbahan baku 100 persen minyak sawit (B100). Hal tersebut lantaran teknologi kilang yang dimiliki Pertamina sudah mampu untuk memproduksi minyak sawit menjadi biodisel tanpa campuran bahan bakar minyak bumi.

Hanya saja, menurut Head of CCUS Development Program Pertamina NRE, Bayu Prabowo, saat ini bahan bakar B100 belum mencapai harga keekonomian. Karena itu, produksi biodiesel dengan campuran minyak sawit baru bisa mencapai 35 persen.

"Biodiesel kita B35 itu sudah world highest recorded for blending ya. Biasanya di tempat lain hanya 10-15 persen tapi kita sudah sampai ke 35 persen. Pertamina sudah mengembangkan teknologi untuk sampai ke blending 100 persen sebetulnya, cuma ini nunggu ke ekonominya bisa tercapai," ujarnya dalam Green Economy Expo 2024, Kamis (4/7).

Di luar biodiesel dari berbahan campuran minyak sawit, Pertamina NRE juga telah memiliki beragam inisiatif energi bersih seperti green hydrogen. Bahan bakar ini dikembangkan baik untuk pembangkit maupun utilisasi.

"Green hidrogen kita punya beberapa inisiatif baik hidrogen (power) generation maupun hidrogen utilization. Kita juga punya beberapa inisiatif lain seperti green metanol di geothermal dan lain-lain," imbuhnya.

Ada pula program dekarbonisasi gasoline yang saat ini tengah dikembangkan untuk dapat mengatasi masalah impor dan intensitas karbon. Sejalan dengan hal itu, Pertamina NRE kini tengah serius dalam pengembangan carbon capture storage dan carbon capture and utilization storage (CCS dan CCUS) untuk menurunkan emisi di sektor minyak dan gas (migas).

Dengan menerapkan teknologi tersebut, harapannya intensitas emisi bahan bakar gasoline untuk keperluan pembangkit, transportasi hingga industri di Indonesia dapat ditekan.

"Kalau kita lihat struktur emisi, kita profile emisinya hampir 1 miliar ton per tahun dan 65 persen disumbangkan dari sektor energi. Kalau kita bedah lebih lanjut dari 65 persen, 43 persen dari power, 25 persen transportasi, 23 industri," jelasnya.

"Transportasi mungkin kedepannya akan disentuh oleh elektrifikasi. Tapi kalau power sector dan industrial sector role-nya akan besar dekarbonisasinya melalui hidrogen dan CCUS," tandasnya.

Magazine

SEE MORE>
The Art of M&A
Edisi November 2024
Businessperson of the Year 2024
Edisi Oktober 2024
Turning Headwinds Into Tailwinds
Edisi September 2024
Indonesia's Biggest Companies
Edisi Agustus 2024
Human-AI Collaboration
Edisi Juli 2024
The Local Champions
Edisi Juni 2024
The Big Bet
Edisi Mei 2024
Chronicle of Greatness
Edisi April 2024

Most Popular

Harga Saham Bank Rakyat Indonesia (BBRI) Hari Ini, 21 November 2024
Siapa Pemilik Grab? Perusahaan Jasa Transportasi Terbesar
Terima Tawaran US$100 Juta Apple, Kemenperin Tetap Tagih Rp300 Miliar
Harga Saham GoTo Group (GOTO) Hari Ini, 21 November 2024
Tolak Wacana PPN 12 Persen, Indef Usulkan Alternatif yang Lebih Adil
Harga Saham GoTo Group (GOTO) Hari Ini, 22 November 2024