2024, Mercer Marsh Benefits Proyeksi Inflasi Medis 14,6%

Tren inflasi medis diperkirakan naik sampai 2025.

2024, Mercer Marsh Benefits Proyeksi Inflasi Medis 14,6%
Mercer Marsh Benefits.
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Mercer Marsh Benefits (MMB) dari PT Marsh Indonesia memproyeksikan Inflasi Medis akan mencapai 14,6 persen secara menyeluruh pada 2024.

Proyeksi itu diumumkan dalam peluncuran laporan Indonesia Health and Benefits Study 2024 yang merangkum program employee health benefits milik lebih dari 470 perusahaan di Indonesia yang mencakup 24 industri berbeda pada 2023.

Sejalan dengan kenaikan inflasi medis, rata-rata nilai klaim program Kesehatan karyawan dari perusahaan yang disurvei MMB turut terdampak. Pada 2023, rerata nilai klaim mereka berjumlah Rp22 juta per orang (untuk layanan rawat inap) dan Rp3,6 juta (untuk layanan rawat jalan). 

Adapun, secara umum, ada delapan program manfaat kesehatan yang perusahaan berikan kepada karyawan, yakni: rawat inap (94 persen), rawat jalan (79 persen), perawatan gigi (64 persen), maternity (53 persen), asuransi jiwa (46 persen), optikal (42 persen), kecelakaan personal (23 persen), dan asuransi travel (5 persen).

Menurut Presiden Direktur Marsh Indonesia dan CEO Marsh McLennan Indonesia, Douglas Ure, setelah pandemi Covid-19, ada lonjakan biaya medis di Indonesia secara signifikan. Khususnya, dari segi biaya rumah sakit dan premi asuransi.

"Hal itu menegaskan pentingnya pengelolaan employee health benefits, khususnya bagi tim HR perusahaan dalam merancang, menawarkan, dan mempertahankan program employee health benefits yang kompetitif dan sesuai dengan pasar," ujarnya, dikutip Jumat (4/10).

Apalagi, MMB memprediksi, tren kenaikan biaya medis akan berlanjut sampai dengan 2025 dan mulai melandai di 2026. Ada beberapa alasan yang matarbelakangi proyeksi itu. Pertama, orang yang sakit menahan pergi ke rumah sakit ketika Covid-19 sehingga okupansi dan utilisasinya menurun. Menurut Ria, itu membuat biaya medis sempat turun. Akibatnya, harga pun diturunkan, sehingga tidak sesuai tren pertumbuhan sebelum Covid-19.

"Sehingga ketika kembali ke normal, maka harganya sudah terlalu rendah. Padahal sebetulnya orang saat itu sakit, tapi dia tahan tidak ke rumah sakit. Makanya pas [new normal pasca-Covid] rumah sakit dibuka kembali, sakitnya itu sudah tambah parah, biayannya lebih tinggi," jelas Ria kepada Fortune Indonesia.

Selain itu, orang yang awalnya sehat lalu terkena Covid-19, mengalami fenomena long Covid sehingga berdampak terhadap naiknya biaya atas penyakit ISPA.

"Sedangkan harganya lagi di bawah [saat permintaan naik itu], tidak seimbang," katanya. "Jadi mereka merugi semua tuh [provider asuransi] dan akhirnya, sebenarnya sejak tahun lalu, dan tahun ini, mereka menaikkan harga. Tahun depan masih akan berlanjut."

Magazine

SEE MORE>
The Art of M&A
Edisi November 2024
Businessperson of the Year 2024
Edisi Oktober 2024
Turning Headwinds Into Tailwinds
Edisi September 2024
Indonesia's Biggest Companies
Edisi Agustus 2024
Human-AI Collaboration
Edisi Juli 2024
The Local Champions
Edisi Juni 2024
The Big Bet
Edisi Mei 2024
Chronicle of Greatness
Edisi April 2024

Most Popular

Apa itu Review? Pengertian, Tujuan, Jenis, dan Cara Membuatnya
AMDAL Jadi Kendala, Proyek Pabrik Chandra Asri Tertunda
Siapa Pemilik Le Minerale? Ini Profilnya
Ancam Mogok Kerja 2 Hari, KSPI Tolak Wacana PPN 12 Persen
Antisipasi ledakan Trafik Data, Jaringan AI Butuh Peningkatan
Harga Saham Bank Rakyat Indonesia (BBRI) Hari Ini, 21 November 2024