BUSINESS

Benarkah Bisnis di Cina Lebih Maju dalam Adopsi AI Dibanding AS?

Cina sedang mempersiapkan regulasi penggunaan AI.

Benarkah Bisnis di Cina Lebih Maju dalam Adopsi AI Dibanding AS?Ilustrasi Kecerdasan Buatan. Shutterstock/Elnur
10 July 2024

Jakarta, FORTUNE - Cina terlihat lebih maju dibandingkan negara-negara lain dalam hal adopsi Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI) dan persiapan regulasi pun tak terelakkan. Berdasarkan survei terbaru dari perusahaan perangkat lunak SAS yang berbasis di North Carolina, para pemimpin bisnis di Cina melaju lebih cepat dalam mengadopsi AI generatif dibandingkan rekan-rekan global mereka.

Menurut survei SAS yang dilakukan bersama Coleman Parkes Research, lebih dari 80 persen pemimpin bisnis Cina yang disurvei saat ini menggunakan Generative AI (GenAI) dalam operasi mereka, di atas rata-rata global sebesar 54 persen dan Amerika Serikat sebesar 65 persen.

"Cina terlihat lebih maju, tidak hanya dalam aspek praktis mengintegrasikan AI ke dalam sistem dan proses yang ada, tetapi juga dalam membangun kepercayaan dengan mempersiapkan untuk mematuhi regulasi GenAI," kata laporan tersebut.

Melansir Fortune.com pada Rabu (10/7), Chief Technology Officer di SAS, Bryan Harris, mengatakan bahwa Cina beralih ke AI generatif untuk membantu mengelola populasi besar dan data yang dikumpulkan dari mereka. "Pekerjaan perintis dalam AI generatif dapat memberikan Cina keunggulan kompetitif di dunia, terkait dengan membuka nilai dan data," katanya.

Namun, masalah keselamatan dan keamanan seperti halusinasi, deepfake, dan privasi data mendorong pemerintah untuk cepat mengembangkan aturan tentang teknologi baru ini. Survei SAS melaporkan bahwa sekitar 70 persen pemimpin bisnis Asia-Pasifik merasa "sepenuhnya siap" atau "cukup siap" untuk mematuhi regulasi AI generatif yang akan datang, dibandingkan dengan 59 persen di Amerika Utara dan 52 persen di Eropa Utara.

Tahun lalu, Beijing merilis beberapa aturan pertama di dunia yang mengatur AI generatif. Aturan tersebut mengharuskan chatbot mematuhi “nilai-nilai inti sosialis” dan melindungi keamanan nasional. Hukuman yang diterapkan tidak seketat yang dikhawatirkan pengamat, yang dibaca analis sebagai sinyal dukungan Beijing terhadap industri yang masih baru ini.

Pada bulan Oktober, pemerintahan Biden mengeluarkan perintah eksekutif yang menyerukan pengembang AI untuk membagikan data uji keselamatan dengan pemerintah AS. Awal tahun ini, Uni Eropa mengesahkan serangkaian regulasi AI komprehensif yang disebut Undang-Undang AI.

Namun, perusahaan AI mungkin kesulitan menavigasi kumpulan aturan AI yang berbeda. "Bagus memiliki regulasi. Hanya saja tidak baik memiliki tiga regulasi yang berbeda, itu tidak efisien," kata Harris.

Investasi AI Cina

Sejak peluncuran ChatGPT oleh OpenAI pada tahun 2022, perusahaan teknologi besar dan kecil di Cina berlomba-lomba untuk menciptakan Model Bahasa Besar atau Large Language Models (LLMs) mereka sendiri dan program AI generatif. Perusahaan teknologi besar seperti Baidu, Alibaba, dan JD.com sedang berinvestasi dalam model bahasa besar mereka sendiri.

Baidu mengklaim model ERNIE LLM-nya mengungguli versi terbaru GPT-4 dalam beberapa tugas berbahasa Cina. Beberapa startup Cina seperti 01.AI, yang didirikan oleh mantan presiden Google China Kai-Fu Lee, juga berlomba untuk merilis chatbot dan produk AI generatif lainnya.

Namun, perusahaan AI di Cina juga berjuang dengan kekurangan chip AI, yang diperburuk oleh kontrol AS yang melarang ekspor prosesor canggih seperti yang dibuat oleh Nvidia ke Cina. Startup dilaporkan membatasi penggunaan produk mereka karena kekurangan daya komputasi.

Pada Senin (7/7), iFlyTek, salah satu pengembang AI terkemuka di Cina, mengatakan kemungkinan akan mencatat kerugian bersih hingga US$64,53 juta untuk paruh pertama tahun ini, yang sebagian disebabkan oleh “tekanan tertinggi dari AS” dalam pengajuan saham di Shenzhen. Sahamnya turun 5,4 persen sejak penutupan hari Jumat.

"Semua negara mencari keuntungan informasi sebagai hasil dari AI," kata Harris, dari tingkat keamanan nasional hingga aplikasi komersial. Ia menambahkan, "AI generatif menjadi perlombaan senjata nuklir yang baru dalam hal itu."

Namun, perusahaan Cina memiliki beberapa keunggulan, seperti menjadi lebih agresif daripada rekan-rekan mereka di AS dalam menggabungkan kumpulan data dan menerapkannya ke model AI.

Harris optimistiis bahwa perusahaan Cina seperti Alibaba masih bisa mengejar ketertinggalan dengan rekan-rekan mereka di AS seperti OpenAI, bahkan dengan kekurangan GPU mutakhir. "Yang keren dari seluruh gerakan ini adalah ada inovasi yang terjadi hampir bersamaan di seluruh dunia. Itu hal yang baik, bukan?" katanya.

Related Topics

    © 2024 Fortune Media IP Limited. All rights reserved. Reproduction in whole or part without written permission is prohibited.