Waktu Kerja Fleksibel Terbukti Sukseskan ASI Eksklusif pada Pekerja
Pentingnya waktu kerja fleksibel dan konselor laktasi.
Jakarta, FORTUNE - Momentum peringatan Pekan Menyusui Sedunia 2024 atau World Breastfeeding Week (WBW) pada 1-7 Agustus memang telah usai. Namun, menjadi pengingat penting mengenai perlindungan kesehatan dan kesejahteraan ibu pekerja melalui tema tahun ini “Closing The Gap” atau “Menutup Kesenjangan untuk Kesuksesan Menyusui”.
Peringatan tahun ini lebih bermakna karena bersamaan dengan disahkannya Undang Undang Kesejahteraan Ibu Anak (UU KIA) yang telah mengatur bahwa pekerja perempuan berhak mendapatkan cuti melahirkan dan menyusui selama enam bulan. Namun, sebelum petunjuk teknis dari undang-undang ini diterbitkan, pakar kesehatan menekankan pentingnya dukungan dari tempat kerja.
Peneliti kedokteran komunitas dan pakar kedokteran kerja FKUI Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH dan pakar kesehatan anak dr. I Gusti Ayu Nyoman Partiwi, Sp.A, MARS menegaskan pentingnya dukungan pemilik tempat kerja adalah kunci dalam proses transisi implementASI UU KIA ini di tempat kerja.
Menurut dr. Ray yang terpenting saat ini adalah penerapan Model Promosi Laktasi yang berbasis waktu kerja fleksibel, dukungan konselor laktasi, dan fasilitas pendukung. "Penelitian membuktikan bahwa elemen pendukung ini berdampak dua hingga tiga kali lipat meningkatkan kesuksesan menyusui dan produktivitas ibu pekerja. Bahkan penilaian dan observasi kilnis dari menegaskan dukungan keluarga dalam bentuk berbagi peran terbukti dapat meningkatkan kesuksesan menyusui dan kualitas pengasuhan,” ujar dr. Ray yang juga merupakan Pendiri Health Collaborative Center (HCC) ini.
Waktu kerja fleksibel mendukung ibu menyusui
Senada dengan itu, dr. Tiwi menegaskan, secara klinis keberhasilan ibu menyusui tidak hanya bergantung kondisi ibu saja, tetapi perlu dukungan suami, keluarga, dan bila ibu pekerja, sangat perlu dukungan di tempat kerja.
"Aturan cuti enam bulan sebenarnya adalah ukuran ideal, tetapi bila kondisi pekerjaan dan tuntutan ekonomi mengharuskan ibu untuk tetap bekerja pada saat periode menyusui, maka ibu harus didukung untuk bekerja dengan waktu fleksibel, agar tetap dapat menyusui, atau memerah ASI dengan berkualitas,” kata dokter yang juga penulis buku Sang Bayi ini.
Terkait perlindungan terhadap hak bekerja dan menyusui untuk ibu pekerja, dr. Ray menegaskan ibu tetap harus dilindungi dan dihormati haknya dalam memilih opsi pekerjaan. Artinya bahwa secara ideal cuti enam bulan adalah kondisi yang paling baik dan terbukti dapat menyukseskan perilaku laktasi ibu, tapi tuntutan ekonomi juga harus diperhatikan.
dr.Ray mengatakan ibu yang bekerja juga menjadi bagian dari ketahanan ekonomi keluarga, jadi bila ibu ingin segera kembali bekerja karena tetap mau mendapatkan gaji penuh setelah tiga bulan cuti melahirkan, maka ini harus didukung dengan kebijakan perusahaan seperti menyiapkan fasilitas menyusui, dukungan konselor atau motivator laktasi.
"Dan terpenting adalah berikan kebebasan untuk menyusui atau memerah ASI di antara jam kerja, tanpa takut dikenakan sanksi,” ujarnya.
Dokter Tiwi juga menegaskan pentingnya dukungan proporsional di tempat kerja. "Ibu pekerja harus diberi kebebasan untuk memompa ASI, karena secara klinis ASI harus diperah atau dikosongkan setidaknya setiap dua jam sekali, bukan hanya saat waktu makan siang," katanya.