Beberapa Investor Besar Asal Jepang Mulai Hengkang dari Cina
Khawatir akan perlambatan ekonomi Cina.
Fortune Recap
- Perusahaan Jepang semakin enggan berbisnis di Cina karena risiko geopolitik dan pertumbuhan ekonomi yang melambat.
- Nippon Steel Corp akan keluar dari perusahaan patungannya di Cina, sementara Mitsubishi Motors Corp telah menghentikan operasi lokalnya.
- Perusahaan anggota Kamar Dagang dan Industri Jepang di Cina tidak akan menggelontorkan lagi atau bahkan memangkas investasinya di negeri itu tahun ini.
Jakarta, FORTUNE - Jumlah perusahaan-perusahaan Jepang yang enggan untuk berbisnis di Cina semakin hari kian bertambah. Kondisi tersebut menunjukkan perubahan tajam setelah mereka bertahun-tahun menjadi investor terbesar dalam perekonomian negara tetangganya itu.
Tren risiko geopolitik dan kekhawatiran atas pertumbuhan ekonomi Cina yang melambat membuat perhitungannya secara keekonomian menjadi tidak lagi masuk akal. Hal ini diakui oleh perusahaan Nippon Steel Corp yang pada Juli lalu menyatakan akan keluar dari perusahaan patungannya di Cina.
Laman Fortune mewartakan, Senin (9/9), Mitsubishi Motors Corp. telah menghentikan operasional lokalnya tahun lalu, sebagai korban dari penjualan mobil yang terus merosot akibat peralihan cepat terhadap kendaraan listrik di Cina.
Dalam survei kondisi bisnis dan kesadaran lingkungan bisnis perusahaan anggota Kamar Dagang dan Industri Jepang di Cina, muncul opini bahwa responden tidak akan menggelontorkan dana lagi atau bahkan memangkas Investasinya di negeri tersebut pada tahun ini.
Perusahaan-perusahaan menyebutkan bahwa kenaikan upah, penurunan harga, dan geopolitik sebagai masalah terbesar yang mereka hadapi.
“Kami sekarang telah melewati puncak keterlibatan ekonomi Jepang dengan Cina,” kata Direktur Geoekonomi dan Strategi International Institute for Strategic Studies, Robert Ward.
Perpecahan yang terjadi secara perlahan ini mengancam ikatan perekonomian yang telah terjalin selama lebih dari empat dekade, ketika Jepang mulai memberikan bantuan pembangunan berupa triliunan yen kepada Cina melalui pinjaman berbunga rendah.
Perdagangan dan niaga telah menjadi pilar hubungan yang sebelumnya penuh pertentangan antara kedua raksasa Asia tersebut—yang dirangkum oleh akademisi dengan slogan “bisnis panas, politik dingin.”
Kali ini, dinginnya angin geopolitik terbukti sulit dibendung.
Penanaman modal asing langsung baru pada 2023 stagnan bahkan mendekati level terendah pada 2016. Ini merupakan titik balik bagi perusahaan-perusahaan Jepang yang telah memasukkan modalnya hampir US$130 miliar di Cina hingga akhir tahun lalu.
Ini merupakan perubahan haluan dari periode ketegangan bilateral sebelumnya, yang tidak terlalu memengaruhi investasi. Bahkan pada 2010-2012, ketika sengketa wilayah antara kedua pihak memanas dan Beijing memblokir sementara pengiriman tanah jarang ke Jepang, perusahaan pun masih meningkatkan porsi investasi mereka rata-rata 13 persen setiap tahun.
Cina mulai khawatir dengan kondisi ini
Kekhawatiran Cina terhadap merosotnya investasi Jepang diungkapkan oleh seorang pejabat Tokyo yang tak ingin disebutkan namanya. Cina berusaha untuk menarik kembali para investor Jepang untuk berinvestasi lebih banyak.
Pada bulan lalu, sebuah pesawat militer Cina memasuki wilayah udara Jepang untuk kali pertama, sebuah insiden yang segera diikuti oleh sebuah kapal angkatan laut Cina yang memasuki perairan teritorial Jepang.
Terlebih lagi, muncul ancaman terhadap keamanan orang Jepang di Cina. Serangan pisau terhadap seorang wanita Jepang dan anaknya di Suzhou, Cina pada Juni — yang oleh pemerintah Cina disebut sebagai insiden "terisolasi" — menimbulkan kekhawatiran di seluruh komunitas Jepang dan meningkatkan keamanan di sekolah-sekolah di seluruh negeri.
Jepang melalui kedutaannya mendesak kepada pihak berwenang di Suzhou untuk memberikan informasi terperinci tentang insiden tersebut.
Penahanan seorang eksekutif perusahaan farmasi Jepang awal tahun lalu juga memicu kekhawatiran publik tentang keselamatan warga negara Jepang di Cina. Pria itu didakwa atas tuduhan spionase pada awal bulan ini.
Perusahaan-perusahaan Jepang alami kemerosotan di Cina
Seiring dengan bergesernya fokus perusahaan-perusahaan Jepang ke tempat lain di Asia dan sekitarnya, kesulitan ekonomi Cina juga menjadi penyebab utama. Dari 1.760 perusahaan yang disurvei oleh Kamar Dagang dan Industri Jepang di Cina, 60 persen mengatakan ekonomi saat ini lebih buruk ketimbang tahun lalu.
Pentingnya Cina bagi eksportir Jepang tidak sama seperti tahun-tahun sebelumnya, karena perusahaan beradaptasi dengan tarif AS dan perubahan lainnya termasuk insentif dari Tokyo untuk memindahkan pabrik dari Cina.
Cina mengambil kurang dari 18 persen ekspor Jepang tahun lalu—level terendah sejak 2015—dengan nilai yang turun hampir 7 persen dibandingkan dengan pertumbuhan dua digit ke AS dan Uni Eropa. Hasilnya, AS menyalip Cina sebagai pasar ekspor terbesar Jepang untuk pertama kalinya dalam empat tahun.
Komatsu Ltd. adalah contohnya. Pembuat ekskavator dan peralatan berat ini penjualannya jauh lebih sedikit di Cina karena ekonomi melambat, konstruksi merosot, dan persaingan semakin ketat.
Sementara pendapatan Komatsu di Cina untuk peralatan konstruksi dan pertambangan anjlok 57 persen pada tahun keuangan lalu dari puncaknya pada 2019, pendapatan tersebut naik hampir 46 persen secara global selama periode yang sama.
Menurut Kementerian Luar Negeri Jepang, terdapat sekitar 31.000 perusahaan Jepang di Cina tahun lalu, turun sekitar sepersepuluhnya dari 2020. Dalam periode yang sama, sekitar 4.000 perusahaan mendirikan kantor di tempat lain di dunia.
"Saat ini perusahaan-perusahaan sedang merestrukturisasi bisnis mereka untuk menghentikan kerugian," kata Masami Miyashita, manajer umum Asosiasi Ekonomi Jepang-Tiongkok di Beijing. "Ini bukan saatnya berinvestasi."
Namun, tidak semua perusahaan Jepang mengundurkan diri.
Panasonic Holdings Corp. berencana untuk berinvestasi lebih dari 50 miliar yen atau US$350 juta sejak awal tahun lalu untuk membangun pabrik peralatan baru, menurut surat kabar Nikkei.
Sementara itu, Kobe Steel Ltd. baru-baru ini mengumumkan akan membentuk usaha patungan dengan sebuah perusahaan di Cina.