Harga Tes PCR Jadi Rp275 Ribu, Bagaimana Tanggapan Penyedia Jasa?
Pemerintah dinilai perlu beri subsidi.
Jakarta, FORTUNE - Pemerintah resmi menurunkan harga tes Covid-19 dengan metode RT-PCR menjadi Rp275 ribu untuk Jawa dan Bali dari sebelumnya Rp495 ribu. Sementara untuk wilayah di luar Jawa dan Bali, harganya ditekan menjadi Rp300 ribu dari sebelumnya Rp550 ribu.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Abdul Kadir mengatakan, harga tersebut merupakan batas tertinggi dan diterapkan untuk pelayanan 1x24 jam setelah pengambilan sampel.
Dengan berlakunya tarif baru tersebut, maka Surat Edaran Dirjen Pelayanan Kesehatan nomor HK.02.02/I/3713/2020 tak berlaku dan segera direvisi. "Kami mohon fasilitas layanan kesehatan dan laboratorium dan fasilitas lainnya mematuhi tarif baru RT-PCR ini," ujar Abdul dalam konferensi pers, Rabu (27/10).
Terkait hal tersebut, Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Ichsan Hanafi mengatakan akan ada sejumlah penyedia jasa yang merugi. Sebab, harga reagen dan barang medis habis pakai yang masih mereka miliki sebelumnya dibeli dengan harga tinggi.
Berbeda dengan saat ini yang harganya mungkin mengalami tren penurunan seiring dengan melandainya kasus Covid-19 di negara produsen. "Terpaksa kita jual rugi akhirnya. Belinya di harga tinggi," ujarnya saat dihubungi Fortune Indonesia, Rabu (27/10).
Meski demikian, Ichsan memastikan pihaknya siap untuk mengikuti ketentuan baru soal harga RT-PCR. Namun, ia memberi sejumlah catatan kritis agar pelaksanaannya di lapangan dapat berjalan dengan baik.
Pertama, perlu ditetapkannya standar harga alat reagen maupun bahan medis sekali pakai untuk RT-PCR. Hal ini agar penyedia jasa tetap memiliki marjin yang sesuai ketika tarif batas atas diturunkan.
"Kami berharap kalau sudah ditetapkan seperti itu, jadi mungkin mutu dan standar bahan bahannya, reagen alat dan lain-lain distandarisasi juga. harganya harus murah sehingga keluarannya bisa menutupi," terangnya.
Menurut Ichsan hal ini penting sebab alat-alat tersebut berkontribusi cukup besar dalam struktur biaya RT-PCR. Jika harganya juga tidak diatur, maka banyak penyedia jasa yang berpotensi tutup karena tak bisa balik modal.
"Saya khawatir rumah sakit yang sudah menghabiskan bahan medisnya bisa saja di-stop dulu layanannya, menunggu sampai harga bahannya ekonomis," ucapnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Randy Teguh mengakui bahwa harga dari pemasok memang turun. Namun, kesepakatan terkait harga ditentukan oleh negosiasi antara pemasok dan pemesan.
Sehingga, tak bisa serta merta harga diminta untuk diturunkan. Jika hal tersebut terjadi, dikhawatirkan justru terjadi penurunan kualitas dalam pengetesan spesimen. "Semua harga yang dibayar kan sudah termasuk tenaga kesehatan. Kalau hanya reagen mungkin di dalam struktur cost 50 persen," jelasnya.
Perlu Ada Subsidi
Pakar kesehatan Universitas Indonesia Zubairi Djoerban mendorong pemerintah memberikan subsidi untuk menurunkan tarif tes PCR dengan tetap menjaga kualitas hasil tes. Sebab, kata dia, tarif ideal saat ini berkisar Rp300 ribu per orang meskipun hasil evaluasi dari otoritas terkait tidak bisa kurang dari Rp400 ribu per orang.
Ia juga berpendapat selisih tarif PCR dapat ditutup menggunakan alokasi dana pemerintah atau program subsidi. "Subsidinya Rp100 ribu atau Rp200 ribu sehingga biaya yang dibayarkan oleh masyarakat lebih murah," katanya seperti dikutip Antara.
Menurut Zubairi tarif layanan kesehatan akan sangat berhubungan erat dengan kualitas. Karena itu pemerintah perlu memberikan bantuan agar tak ada penurunan kualitas. Korelasi antara harga dan kualitas tersebut dapat dilihat dari perbedaan layanan tes PCR yang lebih akurasinya lebih tinggi dibandingkan antigen.
"PCR memang bagus untuk diagnosis lebih baik daripada antigen, namun antigen harganya Rp100, PCR Rp400 ribu. Jadi kalau harga bisa bisa turun tanpa menurunkan kualitas itu yang terbaik," kata alumini Institute Cancerologie et d’Immunogenetique Hopital Paul Brousse (Institut Kanker dan Imunogenetik RS Paul Brousse), Villejuif, Perancis itu.