HSBC: Prospek Bagus, Mayoritas Bisnis Asing Tertarik Ekspansi di Asean
Asia Tenggara memiliki modal digitalisasi yang baik.
Jakarta, FORTUNE – Perusahaan asing yang memiliki usaha di Asia Tenggara menunjukkan kepercayaan tinggi untuk memperluas bisnisnya, demikian survei terbaru dari The Hongkong and Shanghai Banking Corporation (HSBC). Kepercayaan ini beriring prospek bagus ekonomi di wilayah tersebut.
Menurut laporan “HSBC Navigator: SEA in Focus”, 89 persen perusahaan asing yang berpijak di Asia Tenggara menyatakan berencana mengembangkan usahanya di kawasan pada dua tahun ke depan. Bahkan, sebanyak 61 persen perusahaan memproyeksikan pertumbuhan organik setidaknya 20 persen dalam setahun ke depan.
Amanda Murphy, Kepala Perbankan Komersial untuk Asia Selatan dan Tenggara HSBC, memperkirakan ekonomi Asia Tenggara memiliki prospek untuk tumbuh di tengah pandemi yang memasuki tahun ketiga.
Dia menyatakan pertumbuhan itu bahkan dengan kondisi ketidakpastian pasar. Produk domestik bruto (PDB) Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam diperkirakan akan meningkat 3,8–6,2 persen tahun ini.
“Di kawasan ini banyak populasi muda yang besar secara digital, semakin makmur dan berpendidikan, dengan daya beli yang meningkat. Sifat kewirausahaan mereka telah menciptakan dan meramaikan panggung startup yang dapat bersaing di tingkat dunia,” kata Amanda dalam keterangan kepada media, dikutip Jumat (27/5).
Survei HSBC ini melibatkan lebih dari 1.500 perusahaan dari enam ekonomi terbesar di dunia, yaitu: Cina, Prancis, Jerman, India, Inggris, dan Amerika Serikat (AS).
Prioritas bisnis
Perusahaan asing menjadikan digitalisasi sebagai agenda utamanya di Asia Tenggara. Sebanyak 26 persen darinya menyampaikan rencana untuk menginvestasikan lebih dari 10 persen laba operasional untuk mendorong digitalisasi.
Lalu, sekitar 34 persen responden memberikan penekanan soal sektor keamanan siber dan pernyataan ingin didukung oleh mitra perbankan.
Menurut survei tersebut, urusan keberlanjutan juga menjadi prioritas. Sebagai bukti, 21 persen perusahaan berniat mengalokasikan lebih dari 10 persen laba demi meningkatkan keberlanjutan.
Namun, sekitar 32 persen perusahaan asing tersebut menyebut tantangan utamanya adalah mempekerjakan karyawan yang memiliki keahlian dalam bidang berkelanjutan.
“Pandemi telah menciptakan jeda sejenak dari business-as-usual, dan perusahaan di Asia Tenggara didesak untuk menggunakannya demi melakukan kalibrasi ulang strateginya, menjadi lebih berkelanjutan, dan memanfaatkan teknologi dalam mewujudkan potensinya,” ujarnya.
Prospek Indonesia untuk bisnis asing
Indonesia selama ini agaknya dianggap prospektif bagi perusahaan asing. Tengok saja survei Standard Chartered tahun lalu. Menurut laporan dari perusahaan jasa keuangan dari Inggris ini, bisnis Eropa dan AS menempatkan Indonesia sebagai negara Asean keempat yang paling disukai dalam urusan perluasan sumber daya maupun penjualan.
“Kendala regulasi menjadi perhatian nomor satu di antara responden yang ingin berekspansi ke Indonesia. Hal ini memberikan peluang bagi Indonesia untuk mempromosikan kemudahan investasi asing melalui peningkatan kesadaran akan kemudahan berusaha,” kata Torry Berntsen, CEO of Europe and America Standard Chartered, (16/3/2021).
Pemerintah Indonesia telah menggulirkan sejumlah inisiatif untuk kemudahan investasi dan usaha, termasuk mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja, serta membentuk Lembaga Pengelola Investasi INA) sebagai institusi pengelola sovereign wealth fund.
Sementara, bank DBS menyebut bisnis di Indonesia cukup unggul dalam pemanfaatan digitalisasi. Menurut laporan “DBS Digital Treasurer 2020”, sekitar 26 persen perusahaan di Indonesia sudah memiliki strategi yang jelas soal digitalisasi. Nilai tersebut menempatkan Indonesia pada posisi ketiga, setelah Singapura 45 persen dan Thailand 32 persen.
Di kawasan Asia Pasifik, dalam urusan digitalisasi, bisnis domestik ada di peringkat ketujuh. Itu setelah Singapura (45 persen), Hong Kong (44 persen), Jepang (41 persen), Taiwan (39 persen), Korea Selatan (39 persen), dan Thailand (32 persen). Jajak pendapat ini dilakukan terhadap sekitar 1.700 corporate treasurers, CEO, CFO, dan pemilik bisnis Asia-Pasifik.
Menurut data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi sepanjang kuartal I-2022 mencapai Rp282,4 triliun atau naik 28,5 persen secara tahunan. Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, mengeklaim capaian tersebut menunjukkan kebijakan pemerintah memberikan rasa kepastian kepada investor.