Jakarta, FORTUNE - Bagaimana kisah lahirnya Antimo, obat antimabuk yang sudah berusia lebih dari 50 tahun?
Berikut ini ulasannya, dikulik dari hasil wawancara eksklusif Fortune Indonesia dengan Plt. Direktur Utama dan Direktur PT Phapros Tbk (PEHA), Ida Rahmi Kurniasih, pada akhir Maret 2024.
Sebagai catatan penting: yang tak kalah sulit dari penemuan sebuah Produk adalah menjaga legasinya agar tetap relevan pada berbagai zaman. Phapros berhasil melakukannya pada Antimo, yang sudah ada sejak 1970-an.
Kisah lahirnya Antimo dimulai dari pengalaman pribadi Ida, yang terbilang masih sering meminum Antimo ketika akan bepergian. Maklum, sebagai Direksi Phapros, Ida kerap kali harus bolak-balik Jakarta–Semarang untuk urusan pekerjaan.
Setelah menemui Fortune Indonesia di Kantor Phapros, Jakarta (25/3) misalnya, ia harus segera kembali lagi ke Semarang, Jawa Tengah.
“Ini personal ya, kalau hari besok harus ‘fresh’, begitu naik kereta api, saya minum [Antimo] agar bisa istirahat lebih nyaman dan itu terbukti,” katanya.
Salah satu efek samping Antimo adalah mengantuk. Tapi, efeknya akan berbeda pada setiap individu. Ada yang jadi tidak mual, tidak pusing, hingga bisa lebih mudah istirahat. Harapannya: membuat perjalanan lebih nyaman.
Kisah lahirnya Antimo dan asal-usul nama Antimo
Sarjana Farmasi dan Apoteker lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) itu baru bergabung dengan Phapros sebagai Direktur Produksi pada 2022.
Namun, ia sudah mengenal Antimo jauh sebelum bekerja di Phapros, dan semua itu bisa terjadi karena ibunya.
“Ibu saya sangat sering menggunakan Antimo untuk bepergian,” katanya.
Meski tak secara langsung membidani kelahiran Antimo pada 1972, Ida coba menggali kisah dari pendahulunya, termasuk para pensiunan pada salah satu anggota holding BUMN farmasi itu. Dari mereka, Ida pun beroleh anekdot soal asal-usul pembuatan obat itu.
Semuanya bermula dari Program Pelita (Pembangunan Lima Tahun) I pada 1969–1974; memenuhi kebutuhan dasar dan infrastruktur, dengan fokus bidang pertanian. Kerangka kerja Orde Baru itulah yang secara tidak langsung membuat Phapros berpikir mengembangkan obat antimabuk.
Sebab, pembangunan infrastruktur mendorong mobilitas. Apalagi, dalam Pelita II, program pembangunannya menyasar kawasan luar Jawa, Bali, dan Madura, hingga mendorong transmigrasi.
Saat itu, segenap tim Phapros menyadari banyak orang belum terbiasa berkendara jarak jauh, apalagi dengan alat transportasi yang masih sederhana, di jalan yang kondisinya belum rata pula. Mabuk perjalanan pun tak terelakkan bagi sebagian orang.
Menangkap peluang, Phapros meluncurkan Antimo.
“Merek Antimo ini pun diambil dari kata ‘Antimabok’,” ujar Ida.
Kontribusi Antimo terhadap pendapatan Phapros
Proses pengembangan Antimo tidak instan. Saat itu, butuh waktu 3–5 tahun untuk mengembangkan produk tablet. Jika dihitung dari masa uji coba hingga formula siap diproduksi massal, maka Ida memperkirakan waktunya lebih dari 3 tahun.
Antimo sendiri lahir sebaga produk kedua Phapros. Yang pertama Livron B Plex, multivitamin yang dirilis enam tahun setelah Phapros didirikan pada 1954.
Hingga saat ini, keduanya termasuk produk andalan perseroan.
“Jadi kalau kita bicara produk pareto, ada Antimo salah satunya,” katanya menyinggung istilah "pareto" yang berarti "andalan".
Kontribusi Antimo terhadap pendapatan Phapros mencapai 12–15 persen per tahun. Bila mengacu pendapatan Phapros pada sembilan bulan awal 2023, yakni Rp771,91 miliar, maka kontribusi Antimo Rp93,59 miliar–116,99 miliar.
Namun, nilai Antimo lebih dari sekadar angka itu. Ida sendiri mengaku tidak bisa membayangkan seperti apa Phapros tanpa salah satu obat OTC (over the counter) itu. Menurutnya, Antimo adalah salah satu tulang punggung bagi Phapros.
Kini, masa depan Antimo ada di pundak Ida dan tim. Namun, apakah Ida terbebani?
“Dibanding merasa terbebani, yang dirasakan justru bangga bisa jadi bagian dari perjalanan Phapros,” ujar Ida.