Permendag 50/2020, Marketplace Dilarang Jual Produk Sendiri
Permendag 50/2020 direvisi dengan 3 usulan poin baru.
Jakarta, FORTUNE - Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan menyebut harmonisasi revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang perdagangan digital rencananya selesai pada 1 Agustus 2023.
Setelah pembahasan, revisi tersebut kabarnya sudah diterima oleh Kementerian Hukum dan HAM. Salah satu kementerian yang terlibat dalam proses harmonisasi adalah Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop-UKM). Menurut Zulkifli, pihak Kemenkop-UKM telah menyetujuinya.
“Tapi kan masih ada stakeholder lain juga,” kata Zulkifli setelah membuka acara Peresmian CFX di Jakarta, Jumat (28/7). “Dijadwalkan 1 Agustus [harmonisasi] final, mudah-mudahan cepat.”
Adapun, di dalam revisi tersebut ada beberapa poin yang Kemendag usulkan, yakni: penjualan produk di lokapasar (marketplace) atau platform digital (social commerce) mesti melalui proses perizinan dan pengenaan pajak yang sama dengan penjualan di platform luring.
“Kalau kita buka warung kan jualan ada pajaknya, jangan sampai yang digital tidak bayar pajak,” katanya lagi.
Selain itu, ia dan tim juga mengusulkan poin yang melarang platform digital menjadi produsen barang. Misalnya, platform penjualan media sosial seperti TikTok Shop tak boleh menjual barang karyanya sendiri secara langsung.
Penetapan harga minimal barang impor
Poin ketiga dalam usulan revisi Permendag 50/2020, yakni: penetapan harga minimal barang impor senilai US$100. Artinya, barang yang dibeli secara impor melalui platform digital tak bisa lagi berharga di bawah nominal tersebut.
Tujuan dari poin tersebut adalah melindungi produk-produk UMKM lokal. “Saya pun meminta untuk melindungi UMKM kita, barang yang dijual itu juga ada harga minimalnya. Sambal misalnya. UMKM kan bisa buat. Makanya saya tentukan [usul] harga minimal US$100 untuk impor,” jelas Zulkifli.
Upaya itu hadir sejalan dengan munculnya kekhawatiran soal Project S TikTok. Adapun, sebelumnya Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Teten Masduki mengatakan, proyek yang sudah berjalan di Inggris itu sangat menekan produk lokal setempat.
Pihak TikTok Indonesia sendiri mengungkap tak berencana menerapkan Project S di Indonesia. Melansir Antara, Kepala Komunikasi TikTok Indonesia, Anggini Setiawan berujar, “Sejak awal ketika meluncurkan TikTok Shop di Indonesia, kami memutuskan untuk tidak membuka bisnis lintas batas atau cross border di Indonesia.”
Selain itu, menurut Teten, penjualan di platform digital berkonsep social commerce telah menuju pada praktik predatory pricing karena harga jualnya lebih rendah dari harga modal. Itu juga berdampak terhadap penjualan para UMKM lokal.