Pemangkasan Bunga BI Belum Efektif Pacu Pertumbuhan Ekonomi RI

Kebijakan pajak dan kenaikan BPJS bisa lemahkan daya beli.

Pemangkasan Bunga BI Belum Efektif Pacu Pertumbuhan Ekonomi RI
ilustrasi masyarakat di kabupaten/kota (unsplash.com/Fikri Rasyid)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Fortune Recap

  • Pemangkasan suku bunga acuan BI menjadi 5,75% dinilai belum efektif mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
  • Suku bunga pinjaman konsumsi dan investasi memiliki volatilitas lebih kecil dibandingkan suku bunga acuan, menyebabkan delay dalam transmisi ke sektor riil.
  • Penurunan suku bunga oleh BI tidak diikuti perbankan dalam menurunkan suku bunga pinjaman, mengakibatkan adanya jeda waktu atau delay dalam transmisi kebijakan moneter ke sektor riil.

Jakarta, FORTUNE - Pemangkasan suku Bunga Acuan oleh Bank Indonesia (BI) menjadi 5,75 persen dinilai sejumlah ekonom belum efektif mendorong Pertumbuhan Ekonomi nasional. Seperti diketahui, ekonomi Indonesia pada kuartal III-2024 hanya mampu tumbuh sebesar 4,95 persen.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahma berpandangan pergerakan suku bunga pinjaman konsumsi dan investasi cenderung memiliki volatilitas yang lebih kecil dibandingkan suku bunga acuan. 

Dengan demikian, penurunan suku bunga oleh BI tidak serta-merta diikuti oleh perbankan dalam menurunkan suku bunga pinjaman. Hal ini menyebabkan adanya jeda waktu atau delay dalam transmisi kebijakan moneter ke sektor riil. "Konsekuensinya apa? Pada waktu BI nurunin suku bunga, saya melihat ada delay untuk penurunan suku bunga pinjaman dan sebagainya," kata Tauhid kepada media di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dampak suku bunga acuan ke perbankan lama

Ilustrasi Perbankan/ Achmad Bedoel

Selain itu, Tauhid menjelaskan bahwa efek dari kebijakan pemangkasan suku bunga ini baru akan terasa dalam jangka waktu tiga hingga enam bulan ke depan. Mengingat penurunannya hanya sebesar 25 basis poin, dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi kemungkinan besar masih terbatas. 

Sementar itu, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede menjelaskan bahwa dampak kebijakan moneter memiliki time lag, sehingga kenaikan konsumsi bergantung pada efektivitas penurunan suku bunga dalam mendorong kredit konsumsi dan meningkatkan likuiditas rumah tangga. 

"Kenaikan konsumsi akan tergantung pada sejauh mana penurunan suku bunga diterjemahkan menjadi kredit konsumsi yang lebih murah dan peningkatan likuiditas bagi rumah tangga," kata Josua kepada Fortune Indonesia (1/2). 

Dengan kebijakan ini, lanjut Josua, BI berupaya mengelola depresiasi Rupiah agar tetap terkendali sehingga aset lokal tetap menarik bagi investor asing. Namun, ketidakpastian global dan potensi pelebaran defisit neraca berjalan harus dikelola dengan baik untuk mempertahankan kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia. 

"Ketidakpastian global dan risiko pada neraca berjalan yang melebar perlu dikelola dengan baik agar investor swasta tetap percaya diri," kata Josua.

Kebijakan pajak hingga kenaikan BPJS bisa lemahkan daya beli

Shutterstock/Haryanta.p

Di sisi lain, ekonomi Indonesia di tahun 2025 juga masih dibayangi oleh berbagai risiko dan tantangan di dalam negeri. Antara lain seperti lemahnya daya beli hingga kebijakan Pemerintah yang membebani masyarakat. 

Tercatat ada beberapa hal yang akan mengalami perubahan harga karena kenaikan maupun perubahan kebijakan. Seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen khususnya untuk barang mewah, penambahan Objek Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK), kenaikan iuran BPJS Kesehatan, potensi kenaikan harga gas Elpiji, hingga potensi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). 

Ekonom BCA, David Sumual juga menyoroti kenaikan pajak yang berpotensi mempengaruhi daya beli. Namun, menurut David Sumual, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen lebih banyak ditujukan pada barang mewah, sehingga dampaknya terhadap masyarakat luas relatif terbatas. 

"Pajak yang meningkat akan berdampak pada daya beli, tapi sejauh ini PPN 12 persen akhirnya untuk barang mewah, opsen tidak terlalu banyak mengubah nilai akhir yang harus dibayar," kata dia. 

Di sisi lain, kenaikan iuran BPJS Kesehatan, termasuk skema Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) masih belum sepenuhnya jelas. Jika nantinya ada kenaikan iuran dalam skema kelas BPJS Kesehatan yang baru, menurut David, dampaknya terhadap daya beli belum tentu signifikan. Namun, faktor lain yang juga berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia adalah investasi asing.

Magazine

SEE MORE>
Investor's Guide 2025
Edisi Januari 2025
Change the World 2024
Edisi Desember 2024
The Art of M&A
Edisi November 2024
Businessperson of the Year 2024
Edisi Oktober 2024
Turning Headwinds Into Tailwinds
Edisi September 2024
Indonesia's Biggest Companies
Edisi Agustus 2024
Human-AI Collaboration
Edisi Juli 2024
The Local Champions
Edisi Juni 2024

Most Popular

Inilah Orang Muda Berpengaruh pada Fortune Indonesia 40 Under 40: 2025
Jadi DPO, Adrian Gunadi Masuk Red Notice Interpol & Paspor Dicabut
GOTO dan Grab Bicarakan Merger pada 2025, Makin Intensif
Harga Saham Bank Central Asia (BBCA) Hari Ini, 05 February 2025
GAPEKA 2025 Berlaku, Apa Saja yang Berubah?
Harga Saham Bank Central Asia (BBCA) Hari Ini, 04 February 2025