Jakarta, FORTUNE - Nilai Tukar Rupiah beberapa hari ini anjlok ke level kisaran Rp16.200/US$ seiring dengan ketegangan konflik Iran dan Israel. Kondisi itu tentu membayangi kondisi Dana Pihak Ketiga (DPK) Perbankan khususnya DPK Valuta Asing (Valas).
Menanggapi hal itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai bahwa risiko yang dihadapi industri perbankan nasional akibat penguatan dolar Amerika Serikat beberapa waktu ini masih dapat dimitigasi dengan baik.
Kepala Eksekutif Pengawaa Perbankan, Dian Ediana Rae menjelaskan, berdasarkan hasil uji ketahanan atau stress test yang dilakukan OJK, pelemahan nilai tukar rupiah saat ini relatif tidak signifikan berpengaruh langsung terhadap permodalan bank. Mengingat posisi devisa neto (PDN) perbankan Indonesia yang masih jauh di bawah threshold dan secara umum dalam posisi PDN “long” atau aset valas lebih besar dari kewajiban valas.
"Bantalan permodalan perbankan yang cukup besar (CAR yang tinggi) diyakini mampu menyerap fluktuasi nilai tukar rupiah maupun suku bunga yang masih tertahan relatif tinggi," kata Dian melalui keterangan resmi yang dikutip di Jakarta, Senin (22/4).
Porsi DPK valas di perbankan RI capai 15%
OJK mencatat porsi DPK dalam bentuk valuta asing saat ini sekitar 15 persen dari total DPK Perbankan. Sampai akhir Maret 2024, lanjut Dian, DPK valas masih tumbuh cukup baik secara tahunan (yoy) maupun dibandingkan dengan awal tahun 2024 (ytd).
Meski demikian, OJK memandang pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini juga dapat memberikan efek positif terhadap ekspor komoditas dan turunannya. Hal ini diharapkan dapat mengimbangi penarikan dana non-residen dan mendorong industri dalam negeri untuk meningkatkan penggunaan komponen dalam negeri dalam proses produksinya.
"OJK melakukan uji ketahanan secara rutin terhadap perbankan dengan menggunakan beberapa variabel skenario makroekonomi dan mempertimbangkan faktor risiko utama yaitu risiko kredit dan risiko pasar," kata Dian.
Pastikan likuiditas aman, DPK valas Bank Mandiri capai US$17,3 miliar
Dari sisi pelaku usaha, Bank Mandiri memastikan kondisi likuiditas saat ini masih solid kendati adanya fluktuasi nilai tukar, yang disebabkan oleh gejolak ekonomi dan geopolitik saat ini.
Corporate Secretary Bank Mandiri Teuku Ali Usman menilai, dalam mengelola likuiditas pihaknya telah menerapkan strategi optimalisasi pengelolaan aset liabilitas yang dipantau secara prudent dengan tetap menerapkan seluruh aspek dalam manajemen risiko. Termasuk di dalamnya risiko pasar maupun likuiditas.
“Kami berkomitmen untuk terus mengoptimalkan pengelolaan aset dan liabilitas agar dapat mengantisipasi gejolak pasar yang terjadi,” terang Ali.
Bank berlogo pita emas ini juga menilai, kondisi fundamental Bank Mandiri berada dalam keadaan sehat dengan tingkat pemodalan yang kuat yang dapat menjadi buffer apabila ada shock terhadap perekonomian dan pasar keuangan. Ali menambahkan, penguatan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah saat ini memang secara tidak langsung memang berdampak pada penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) Valas guna mendukung ekspansi bisnis dan kebutuhan likuiditas perseroan.
Tercatat, sampai dengan Februari 2024 Bank Mandiri telah mencatatkan penghimpunan DPK sebesar Rp 1.209 triliun, tumbuh 5,77 persen (yoy)dengan DPK valas tercatat sebesar US$17,3 miliar. Penghimpunan DPK Valas tersebut terutama didorong oleh Giro valas yang tumbuh sebesar 4,35 persen mencapai US$ 12,7 miliar. Sedangkan, posisi loan to deposit ratio (LDR) valas dapat terjaga di bawah level 90 persen.