Jakarta, FORTUNE - Bank Indonesia (BI) diperkirakan tak akan menurunkan suku bunga acuan dalam waktu dekat, menurut PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI).
Chief Economist and Investment Strategic MAMI, Katarina Setiawan menilai, itu karena jarak antara suku bunga acuan BI dan Federal Reserve (The Fed) telah semakin kecil. Apabila BI memutuskan menurunkan suku bunganya, rupiah berisiko terkena depresiasi.
“Dikhawatirkan rupiah akan terdepresiasi [bila BI menurunkan suku bunga] karena dianggap tak terlalu menarik,” kata Katarina, dikutip Jumat (18/8).
Dus, BI mengimplementasikan langkah lain demi mempertahankan stabilitas kurs rupiah serta menjaga kondisi ekonomi yang masih bertumbuh sesuai ekspektasi hingga kuartal II 2023. Di antara langkah itu adalah aturan dana hasil ekspor (DHE), yang mewajibkan eksportir dengan nilai ekspor minimal US$250.000 untuk menyimpan DHE paling tidak tiga bulan secara domestik.
Katarina berujar, “Aturan itu juga bertujuan menambah likuiditas dolar AS di dalam negeri, sebesar US$9-27 miliar.”
Adapun, selama enam bulan terakhir, BI mempertahankan suku bunga acuannya. Hal itu karena data ekonomi dinilai masih positif. Lebih lanjut, inflasi juga sudah berada di level sesuai target BI pada Juni 2023.
“Sehingga tak perlu terburu-buru meningkatkan suku bunga,” imbuh Katarina.
BI diprediksi menurunkan suku bunga di kuartal IV 2023
Sejak Juni hingga November 2022, The Fed berturut-turut meningkatkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin. Tim riset HSBC Global telah melihat dampak serius terhadap negara yang suku bunganya berjarak terlalu jauh dari The Fed. Itu mengakibatkan aliran modal keluar dari negara-negara Asia Tenggara, juga menekan mata uang lokal. Kekhawatiran mengenai inflasi karena nilai tukar dan stabilitas keuangan pun tak terelakkan. Mau tak mau, bank sentral di negara-negara Asia Tenggara menaikkan suku bunga, walau dalam tingkatan berbeda-beda.
Akan tetapi, itu terjadi di tahun lalu. HSBC Global kini melihat, ekspektasi soal inflasi di wilayah tersebut sudah berbalik arah, yang sebagian besar karena perlambatan pertumbuhan ekonomi Cina. Dus, pertanyaan tentang ‘kapan pemangkasan suku bunga di Asia Tenggara’ pun mulai ramai dibicarakan.
HSBC pun meninjau potensi penurunan suku bunga acuan oleh bank sentral di setiap negara Asia Tenggara, berdasarkan kondisi ekonomi, fleksibilitas kebijakan moneter, dan suku bunga kebijakan riil.
Kendati MAMI memprediksi BI tak akan menurunkan suku bunga tergesa-gesa, HSBC Global berpendapat, Indonesia-lah yang memiliki peluang paling besar untuk memangkas suku bunga acuan dibandingkan negara Asia Tenggara lain, terutama Vietnam dan Filipina.
“Dengan selisih antara suku bunga kebijakan riil BI dan Fed yang lebih lebar dari sebelum pandemi, BI memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga lebih cepat,” tulis tim riset HSBC Global.
Lebih lanjut, HSBC Global memproyeksikan BI akan memulai siklus pelonggaran kebijakan suku bunga begitu indikator-indikator ekonomi makin menunjukkan bahwa suku bunga The Fed sudah mencapai puncak. Jika itu terjadi, BI diperkirakan mulai menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin di kuartal IV 2023.
Di sisi lain, negara Asia Tenggara lain memiliki tingkat kebijakan riil lebih rendah dari The Fed, sehingga lebih rentan terhadap arus keluar (outflow) bila bank sentral memutuskan mulai mengurangi suku bunganya. Terutama bagi Filipina dan Vietnam.