Kisah di Balik Sistem Ekonomi Merkantilisme
Dari Eropa hingga mendunia. Apa pengaruhnya bagi Indonesia?
Jakarta, FORTUNE - Merkantilisme adalah sebuah sistem ekonomi perdagangan yang berlangsung selama abad 16 hingga abad ke-18. Dalam sejarah pemikiran ekonomi dunia, era Merkantilisme yang dimulai sejak abad menjadi tonggak terbesar yang memengaruhi aktivitas ekonomi dan politik global di masa kini.
Mengutip dari Investopedia, merkantilisme dianut oleh negara-negara Eropa untuk sebisa mungkin memupuk kekayaan dengan meningkatkan ekspor serta mengurangi impor dengan menerapkan tarif atau bea masuk.
Berkembangnya teori ekonomi Merkantilisme di Eropa, membawa pengaruh yang besar terhadap peradaban manusia sampai saat ini. Di mana turut andil dalam berkembangnya kapitalisme, penggunaan uang sebagai alat tukar, bursa efek atau pasar modal dan perdagangan surat berharga atau obligasi, serta perusahaan asuransi dan bank, semua terlahir di era Merkantilisme.
Simak pembahasan mengenai merkantilisme yang Fortune Indonesia rangkum untuk Anda dalam artikel ini.
Bagaimana Merkantilisme Bermula?
Merkantilisme sendiri berasal dari bahasa inggris merchant yang berarti pedagang. Melalui sistem merkantilisme, sebuah negara berupaya untuk mengoptimalkan aktivitas perdagangan untuk mendapatkan keuntungan yang melimpah.
Merkantilisme adalah paham yang semula populer di Eropa pada tahun 1500an. Kala itu, negara-negara Eropa yakni, kekayaan dan kekuatan sebuah negara bisa tercapai dengan meningkatkan ekspor, untuk mengumpulkan logam mulia seperti emas dan perak.
Merkantilisme menggantikan sistem ekonomi feodal yang sebelumnya dianut di kawasan Eropa Barat. Sebagai episentrum dari Kerajaan Britania Raya, kala itu Inggris memiliki kekayaan alam yang terbatas. Untuk meningkatkan kekayaannya, Inggris memperkenalkan kebijakan fiskal yang mencegah negara-negara penjajah dari membeli produk luar selain produk Inggris.
Sebagai contoh, ketika Inggris mengeluarkan undang-undang yang mengatur mengenai impor gula pada tahun 1764. Undang-undang tersebut menaikkan bea masuk untuk gula rafinasi serta molase yang diimpor oleh koloni. Dengan demikian, maka Inggris menjadi pemain tunggal atau memberikan pasar monopoli kepada petani gula negara jajahan mereka di Hinda Barat.
Kebijakan Merkantilisme
Merkantilisme menyebabkan banyaknya terjadi revolusi melawan kerajaan. Hal tersebut dikarenakan adanya monopoli dagang dan penarikan pajak yang memberatkan hingga menyengsarakan rakyat, lihat saja revolusi Amerika atau revolusi Perancis.
Selain itu, karena sistem ini menitikberatkan kepada wilayah lain yang mempunyai sumber daya berlebih dan berharga, akhirnya kerajaan-kerajaan tersebut berlomba mendapatkan wilayah baru dan memicu perang antarkerajaan.
Poin- poin kebijakan merkantilisme, yaitu:
- Menciptakan koloni di luar negeri
- Melarang daerah koloni untuk melakukan perdagangan dengan negara-negara lain
- Melarang ekspor emas dan perak, bahkan untuk alat pembayaran
- Melarang perdagangan untuk dibawa dalam kapal asing
- Subsidi ekspor
- Mempromosikan manufaktur melalui penelitian atau subsidi langsung
Di bawah sistem merkantilisme, sebuah negara juga kerap kali meningkatkan peran militer untuk memastikan stabilitas pasar dan ketersediaan pasokan di dalam negeri terjaga. Sebab, lewat merkantilisme, baik tidaknya perekonomian diukur berdasarkan ketersediaan pasokan modal di negara itu.
Tak hanya itu, penganut paham merkantilisme juga meyakini, kesehatan ekonomi sebuah negara bisa dinilai dengan tingkat kepemilikan logam mulia, seperti emas dan perak, yang jumlahnya cenderung akan meningkat mengikuti penambahan jumlah konstruksi rumah baru, hasil pertanian, serta permintaan pasar yang kuat oleh barang dan bahan baku.
Tokoh-tokoh Merkantilisme
Salah satu tokoh merkantilisme yang terkenal, yakni Jean-Baptiste Colbert (1619–1683). Ia merupakan pejabat setara dengan Menteri Keuangan Prancis yang mempelajari teori-teori perdagangan luar negeri dan memiliki posisi untuk mengeksekusi ide-ide dalam teori tersebut.
Sebagai seorang penganut monarki yang taat, Colbert kala itu menyerukan strategi ekonomi yang melindungi tahta Prancis dari kelas dagang Belanda yang sedang naik daun. Colbert juga meningkatkan ukuran angkatan laut Prancis sehingga Prancis memiliki kemampuan untuk mengontrol rute perdagangan. Harapannya, hal itu bisa membantu meningkatkan kemampuan Prancis menumbuhkan kekayaan.
Meski praktiknya terbukti tak berhasil, namun ide-idenya sangat populer hingga akhirnya dibayangi oleh teori ekonomi pasar bebas. Selain Colbert, beberapa tokoh teori merkantilisme lainnya, seperti Jean Bodin (1530–1596), Thornas Mun (1571–1641) Jean Baptis Colbert (1619–1683), Daavid Hurne (1711–1776), dan Sir William Petty (1623–1687).
Dampak Merkantilisme bagi Indonesia
Pada sekitar abad ke-17 Masehi mulai muncul kongsi-kongsi dagang seperti VOC (kongsi dagang Belanda) dan EIC (kongsi dagang Inggris) di Indonesia. Kehadiran kongsi dagang Eropa di Indonesia bertujuan untuk menguasai dan memonopoli perdagangan di kawasan kepulauan Nusantara melalui jalur peperangan dan politik.
- Kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia
Di era merkantilisme berkembang, banyak pedagang Eropa yang melakukan hubungan perdagangan dengan penduduk Nusantara. Mulai muncul kongsi-kongsi dagang seperti VOC (kongsi dagang Belanda) dan EIC (kongsi dagang Inggris) di Indonesia.
Dalam buku Sejarah Perekonomian Indonesia (2009) karya R.Z Leirissa dkk, merkantilisme mendorong adanya kolonialisme dan imperialisme bangsa Eropa di Nusantara. Hal itu dikarenakan, Indonesia merupakan penghasil komoditas rempah-rempah yang sangat dicari di pasar internasional.
Salah satu pengaruh terbesar saat kedatangan Belanda dan mebentuk VOC di Batavia untuk menghindari persaingan tidak sehat antarpedagang Eropa. Selain itu VOC memiliki kekuatan monopoli dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara. VOC ikut campur dalam urusan interal kerajaan dan memonopoli perdagangan di kawasan kepulauan Nusantara melalui jalur peperangan dan politik.
- Pemberlakuan sistem sewa tanah oleh Raffles
Pendapatan negara pada masa pemerintahan Raffles didapat dari pajak sewa tanah. Raffles berpandangan bahwa tanah merupakan milik negara. Rakyat hanya memiliki hak untuk mengolahnya. Rakyat dibebaskan untuk menanam apapun, asal pajak berjalan lancar.
Akan tetapi, sistem tersebut gagal diterapkan setelah bertahun-tahun lamanya. Rakyat yang diberi kebebasan untuk menanam, justru terjebak pada kebiasaan lama. Mereka menjual hasil panen kepada bupati, bukan kepada pasar. Akhirnya sistem sewa tanah ini tidak berhasil, karena hanya menguntungkan para tengkulak.
- Stratifikasi sosial
Belanda menetapkan stratifikasi sosial menjadi tiga golongan, yaitu golongan 1 (orang Belanda dan orang asing kulit putih, golongan 2 (orang timur Asing), dan golongan 3 (orang pribumi).
Pembagian kelas sosial tersebut diikuti dengan pembedaan hak dan kewajiban. Hal ini bertujuan untuk menjaga prestise pemerintah kolonial dengan menciptakan superioritas orang kulit putih dan inferioritas orang pribumi.