Jakarta, FORTUNE - Laporan tahunan State of the Fake dari Entrupy menunjukkan peningkatan tren pemalsuan Barang Mewah di seluruh dunia, seiring berkembangnya budaya barang tiruan. Masalah pemalsuan dalam industri barang mewah terus memburuk.
Dalam edisi 2024 dari laporan tersebut, Entrupy mengungkapkan bahwa mereka telah mengautentikasi produk senilai lebih dari US$1,48 miliar pada tahun 2023. Namun, hampir 9 persen dari semua barang yang diperiksa ditemukan sebagai tidak teridentifikasi atau tidak asli, meningkat 0,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini mengkhawatirkan, terutama karena menunjukkan adanya peningkatan barang palsu yang masuk ke dalam bisnis legal.
Dalam kemitraan dengan berbagai merek dan pengecer, teknologi AI milik Entrupy menunjukkan bahwa merek barang mewah dengan autentikasi terbanyak di tahun 2023 adalah Louis Vuitton (32 persen), Chanel (13 persen), dan Gucci (13 persen), diikuti oleh Prada (10 persen) dan Coach (5 persen).
Merek dengan tingkat barang tidak teridentifikasi tertinggi adalah Goyard (naik 23 persen), Prada (14 persen), Celine (12 persen), Hermès (12 persen), dan Loewe (11 persen).
Bahan paling banyak tidak teridentifikasi adalah kanvas Goyardine, dengan Goyard St. Louis Tote menjadi gaya yang paling banyak ditemukan tidak asli. Selain itu, nilon Prada juga sering ditemukan tidak teridentifikasi, dengan model Re-edition 2000 menjadi gaya paling banyak ditemukan tidak asli dari merek tersebut.
"Meski penerimaan terhadap barang tiruan semakin meningkat, memiliki solusi autentikasi di tempat secara langsung menjadi penghalang besar bagi konsumen yang mencoba menipu orang lain," kata Vidyuth Srinivasan, CEO Entrupy melansir WWD.com (30/9).
"Saya ingin percaya bahwa kami berperan dalam hal itu. Pekerjaan kami sekarang mencakup memperluas distribusi kami secara global dan mendukung lebih banyak produk dan kategori. Saat kami berkembang, misi inti kami untuk memberikan hasil paling akurat dengan cara tercepat tetap tidak berubah," katanya, menambahkan.
Dampak barang palsu
Laporan Entrupy juga menyoroti bahwa pemalsuan adalah masalah global yang merugikan secara finansial, tidak hanya bagi merek yang ditiru, tetapi juga bagi lingkungan, ekonomi, dan kualitas hidup.
Barang palsu kini menyumbang 3,3 persen dari perdagangan global dan merupakan bagian dari masalah pencurian kekayaan intelektual yang merugikan ekonomi global.
"Meski banyak orang berpikir membeli produk palsu bukan masalah besar, sebenarnya ini berdampak lebih dari sekadar merugikan merek, tetapi juga berdampak pada lingkungan dan standar produksi," ujar Srinivasan.
Menurutnya, produk tersebut bisa berbahaya bagi kesehatan. Pada tahun 2022, American Apparel and Footwear Association menemukan bahwa 36 persen pakaian dan alas kaki palsu yang diuji mengandung kadar arsenik, kadmium, ftalat, dan timbal yang berbahaya.
"Zat kimia ini dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, termasuk iritasi kulit dan efek kesehatan jangka panjang," katanya.
Faktor-faktor yang memperburuk masalah pemalsuan saat ini mencakup evolusi daftar produk palsu, meningkatnya penggunaan media sosial sebagai pasar, serta pertumbuhan pasar barang palsu.