Jakarta, FORTUNE - Nilai merek Burberry merosot drastis hingga 42 persen sepanjang tahun 2024, mengakibatkan perusahaan ini terancam menjadi korban jangka panjang dari perlambatan sektor Barang Mewah global.
Penurunan ini terkait dengan tantangan ganda yang dihadapi Burberry, yakni pelemahan industri barang mewah serta kegagalan dalam implementasi rencana transformasi internal.
Menurut peringkat tahunan Kantar BrandZ, Burberry kehilangan hampir US$2 miliar dalam nilai mereknya dibandingkan tahun 2023. Ini menempatkan Burberry sebagai penurunan terbesar kedua di antara 75 merek paling berharga di Inggris, setelah perusahaan penasihat keuangan St. James's Place. Demikian dilaporkan Fortune.com.
Industri barang mewah lesu
Industri barang mewah global tengah berjuang menghadapi penurunan, yang dipicu oleh berkurangnya fenomena "revenge shopping" setelah pandemi COVID-19. Para konsumen, termasuk kalangan kaya, mulai menekan pengeluaran mereka karena dampak krisis biaya hidup.
Bahkan, Bernard Arnault, bos LVMH, yang sempat menjadi orang terkaya di dunia, turun ke posisi kelima setelah saham LVMH mengalami penurunan besar. Sejumlah produsen jam tangan Swiss pun terdampak, memaksa mereka untuk memberhentikan karyawan dengan dana bantuan negara.
Adele Jolliffe, Kepala Konsultan Merek di Kantar, mengatakan, "Penurunan di sektor barang mewah membuat semakin penting bagi merek-merek ini untuk benar-benar menonjol dari persaingan. Ini adalah hal yang sulit dicapai oleh Burberry tahun ini."
Masalah internal Burberry
Penurunan sektor barang mewah ini bertepatan dengan masalah internal Burberry, terutama terkait rencana transformasi yang tersendat. Nilai merek mewah asal Inggris ini turun hingga setengahnya sepanjang 2024.
Pada bulan Juli, Burberry memecat CEO Jonathan Akeroyd setelah tiga kali memberikan peringatan laba, dan menangguhkan dividen yang membuat sahamnya anjlok.
Akeroyd mewarisi masalah yang juga dihadapi para pendahulunya, yaitu kegagalan rebranding yang bertujuan menggeser Burberry dari merek kelas menengah ke kelas atas. Pada bulan Juli, Burberry mulai memberhentikan ratusan karyawannya, sementara investor ramai-ramai menjual saham perusahaan.
Dan Coatsworth, analis investasi di AJ Bell, mengatakan pada bulan September bahwa Burberry menjadi rentan terhadap pengambilalihan karena penurunan valuasi yang signifikan.
Burberry juga terdepak dari indeks FTSE 100, kelompok saham terbesar di Inggris, pada bulan Agustus setelah berbulan-bulan mengalami penurunan nilai saham. Menurut Jelena Sokolova, analis ekuitas senior di Morningstar, penyebab utama penurunan Burberry adalah tingginya eksposur pada produk pakaian yang pertumbuhannya lambat serta rendahnya pendapatan dari produk ikonik.
"Upaya yang gagal untuk menjadi lebih trendi dengan tiga kali pergantian direktur kreatif dalam 10 tahun terakhir, serta upaya yang gagal dalam sektor barang-barang kulit yang sangat kompetitif, di mana merek Burberry tidak cukup kuat," ujar Sokolova.
Selain itu, kenaikan harga yang baru-baru ini juga bertepatan dengan melemahnya pembelian barang mewah.
Upaya pemulihan Burberry
Meskipun rencana transformasi Burberry tampaknya belum berhasil, Sokolova tetap optimistis akan potensi pemulihan merek ini. Secara historis, penurunan di sektor barang mewah tidak berlangsung lebih dari satu hingga dua tahun, dan Burberry memiliki peluang untuk berinovasi kembali dengan fokus pada koleksi pakaian luar ruangan ikonik dan produk yang lebih terjangkau.
Di tengah penurunan Burberry, beberapa peritel lain seperti Marks & Spencer justru mengalami kenaikan nilai merek. M&S mencatat peningkatan 38 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dengan perbaikan signifikan dalam persepsi konsumen terhadap produk grosir dan fashion mereka.
"Kami semakin melihat pentingnya membangun merek yang kuat untuk mendorong pertumbuhan jangka panjang yang menguntungkan," kata Jolliffe.
Menurutnya, merek yang mampu membedakan diri mereka secara bermakna di mata konsumen adalah yang akan berhasil.