LUXURY

Manfaatkan FOMO Iklim, Industri Pariwisata Dorong Ekoturisme

Menyeimbangkan antara promosi ekowisata dan keberlanjutan.

Manfaatkan FOMO Iklim, Industri Pariwisata Dorong Ekoturismeilustrasi wisata (pexels.com/ Te lensFix)
03 December 2024

Jakarta, FORTUNE - Tren Ekowisata kini semakin marak dipromosikan dengan mengusung kampanye perubahan iklim, serta memanfaatkan ketakutan akan hilangnya keajaiban alam untuk menarik wisatawan. Namun, ironisnya, perjalanan untuk menyaksikan keindahan tersebut justru mempercepat kerusakan yang ingin dicegah, menciptakan dilema antara upaya pelestarian dan dampak pariwisata itu sendiri.

Bagaimana industri ekowisata merancang strategi ini, serta dampaknya terhadap lingkungan dan kesadaran wisatawan dan apakah strategi tersebut efektif? Melansir Robb Report (3/12), sejumlah destinasi pariwisata menggunakan isu perubahan iklim untuk menarik wisatawan. Berbagai medium kampanye menggaungkan hal serupa : “Lihatlah sekarang, sebelum terlambat.”

Dari penguin Antartika hingga gletser Norwegia, kalimat ini sering diulang dan dimanfaatkan untuk mendorong penjualan eco-tourism. Strategi ini berhasil karena ada kebenarannya—setidaknya sebagian. Perubahan iklim sedang menghancurkan keajaiban alam dan habitat makhluk luar biasa di dunia. Namun faktanya, sebagian besar keajaiban tersebut akan tetap ada jauh setelah manusia pergi.

“Masalahnya bukan pada lingkungan, melainkan manusia,” kata Court Whelan, seorang naturalis dari NatHab (Natural Habitat Adventures), pemimpin dalam industri eco-tourism yang beroperasi di tujuh benua.

Pemasaran berbasis FOMO, apa dampaknya?

Meskipun gletser Saint-Sorlin di Pegunungan Alpen Prancis diprediksi akan lenyap pada tahun 2050, sebagian besar keajaiban alam dunia akan tetap ada lama setelah itu. Ironisnya, dalam pemasaran berbasis FOMO ini tersembunyi sebuah paradoks: perjalanan untuk melihat keajaiban tersebut justru mempercepat kehancurannya. Jadi, apakah sudah terlambat? Haruskah Anda hanya mengunjungi destinasi yang sudah populer?

Jordan Riefe, seorang travel writer yang telah menjelajahi berbagai destinasi dunia, baru-baru ini melakukan perjalanan ke Greenland Timur. Bersama sekelompok kecil wisatawan, Riefe memulai ekspedisi dari Semenanjung Reykjanes di Islandia. Perjalanan dimulai dengan mengunjungi area geotermal Krýsuvík, gua lava Raufarhólshellir, dan menyaksikan letusan gunung berapi Sundhnúksgígar yang berlangsung selama beberapa minggu pada musim panas lalu.

Setelah penerbangan dua jam ke Greenland, rombongan mendarat di Kulusuk dan melanjutkan perjalanan ke Angmagssalik, sebuah kota kecil dengan populasi sekitar 2.000 jiwa. Dari sana, mereka naik perahu selama lebih dari satu jam menyusuri Fjord Ikasartivaq menuju basecamp terpencil yang dioperasikan oleh NatHab bekerja sama dengan WWF.

Basecamp ini dirancang untuk memberikan pengalaman yang ramah lingkungan. Dilengkapi dengan delapan tenda, sebuah yurt, bengkel, kamar mandi, dan tenda makan, fasilitasnya mengutamakan prinsip keberlanjutan. Limbah manusia dikelola dengan toilet tanpa air yang menggunakan kantong biodegradable, sementara listrik dihasilkan oleh generator berbahan bakar propana dan bensin. Total emisi per orang untuk perjalanan ini tercatat sebesar 0,904 ton CO2e. Bahkan sisa makanan disalurkan ke anjing penarik kereta salju di desa Tinit atau dikonsumsi oleh staf.

“Tidak bisa menyelamatkan apa yang tidak Anda cintai, dan tidak bisa mencintai apa yang tidak Anda kenal,” kata Whelan, menekankan pentingnya membangun kesadaran melalui pengalaman langsung.

Selama berada di basecamp, Riefe dan rombongannya menjelajahi Fjord Sermilik yang spektakuler, mengunjungi lembah-lembah indah dengan sungai air tawar, serta menyaksikan paus bungkuk di sekitar gletser Apusiaajik. Perjalanan ini juga menjadi pengingat akan Dampak Perubahan Iklim. Dalam dua dekade terakhir, Greenland telah kehilangan 4,7 triliun ton es, yang meningkatkan permukaan laut global sebesar 1,2 sentimeter, menurut peneliti Arktik Denmark.

Greenland, yang memiliki luas seperempat dari ukuran Amerika Serikat tetapi hanya dihuni oleh 60.000 orang, tetap menjadi salah satu wilayah paling liar dan belum tersentuh di dunia. Namun, pembangunan bandara baru di beberapa kota besar diperkirakan akan meningkatkan jumlah wisatawan.

Sementara itu, industri perjalanan global menyumbang 8-11 persen emisi gas rumah kaca, menurut laporan World Travel and Tourism Council tahun 2021. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana perusahaan seperti NatHab dapat menyeimbangkan antara promosi ekowisata dan keberlanjutan lingkungan.

NatHab berupaya mengatasi tantangan ini dengan menyumbangkan 1 persen dari pendapatan kotor mereka dan memberikan tambahan US$176.000 setiap tahun kepada WWF. Dalam dua dekade terakhir, total donasi mereka mencapai US$6 juta. Mereka juga berinvestasi dalam teknologi direct air capture dan bahan bakar penerbangan berkelanjutan.

Namun, sebagaimana yang disampaikan Riefe dalam catatannya, dilema ekowisata tetap nyata. Apakah perjalanan ke destinasi-destinasi ini membantu menyelamatkan planet atau justru mempercepat kerusakannya? Pertanyaan ini tetap menjadi tantangan utama bagi wisatawan dan pelaku industri perjalanan. Sebuah perjalanan, meskipun penuh dengan keindahan dan kesadaran, tetap meninggalkan jejak karbon yang tak terhindarkan.

Related Topics

    © 2024 Fortune Media IP Limited. All rights reserved. Reproduction in whole or part without written permission is prohibited.