Jakarta, FORTUNE - PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) akhirnya buka suara tentang isu Akuisisi Bukalapak oleh e-commerce Temu asal Cina. Sekretaris Perusahaan Bukalapak, Cut Fika Lutfi menyatakan, BUKA tidak mengetahui informasi terkait rencana akuisisi oleh Temu.
"Sehubungan dengan itu, perseroan akan melakukan keterbukaan informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku jika menerima informasi yang telah diverifikasi kebenarannya atas rencana akuisisi itu," katanya, dikutip dari keterbukaan informasi BEI pada Rabu (9/10).
Sebelumnya, pada 7 Oktober 2024, harga saham BUKA melejit 25,22 persen di tengah sejumlah rumor di pasar. Salah satunya, isu mengenai niat Temu mengakuisisi Bukalapak. Mengenai itu, BUKA menyatakan, spekulasi pasar berada di luar kendali perseroan.
"Oleh karenanya, perseroan menghimbau agar para pemegang saham publik dan investor dapat memperhatikan keterbukaan informasi yang disampaikan oleh Perseroan sebelum membuat keputusan investasi terkait perseroan," jelas Cut.
Pandangan analis
Sebelumnya, seiring dengan tantangan regulasi di Indonesia, Temu mempertimbangkan untuk masuk ke pasar Indonesia lewat strategi akuisisi, mirip dengan skema akuisisi Tokopedia oleh TikTok Shop.
Mirae Asset Sekuritas Indonesia (MASI) menjelaskan, skenario itu berpotensi dilakukan untuk mematuhi undang-undang perdagangan Indonesia. Bukalapak pun muncul sebagai kandidat potensial akuisisi, karena model bisnis yang sesuai dengan kebutuhan Temu.
Mengapa BUKA? Analis MASI, Christopher Rusli menjelaskan beberapa alasannya. Pertama, kehadiran kuat di kota tingkat dua, didorong oleh segmen O2O, yang sesuai dengan rangkaian produk Temu dan daya beli pasar tujuan.
Ia menambahkan, dibandingkan BELI, BUKA merupakan target akuisisi paling layak. Terakhir, BUKA pun berpeluang meremajakan segmen pasarnya, setelah kehilangan pangsa pasar dari para raksasa seperti Shopee, Tokopedia, dan Lazada dalam beberapa tahun ini.
"Dari segi valuasi, hal itu juga masuk akal. Per 8 Oktober 2024, BUKA sebelumnya ditutup pada Rp144 per saham yang menyiratkan kapitalisasi pasar Rp14,9 triliun, jauh lebih rendah dari kas dan setara kas saat ini, yakni Rp18,6 triliun (~Rp180 per saham) per semester I 2024," jelas Christopher dalam risetnya pada 8 Oktober.
Ia menuliskan, jika akuisisi tersebut benar-benar dilakukan, maka itu dapat kembali menyegarkan BUKA dan membantu perusahaan tetap relevan di sektor teknologi.
Khususnya, setelah pengunduran diri Teddy Nuryanto Oetomo dari posisi Direktur BUKA, serta kinerja yang di bawah ekspektasi pada kuartal II 2024 yang menyebabkan penangguhan panduan pada 2024, demikian menurut MASI.
"Jika terealisasi, transaksi ini dapat memberikan sentimen positif dan stabilitas yang sangat dibutuhkan bagi BUKA untuk terus bergerak maju," kata Christopher lagi.
Namun, sekalipun akuisisi benar-benar terjadi, Temu dinilai hanya akan melakukannya pada segmen marketplace BUKA, karena aset lain tidak relevan dengan bisnis mereka. Apabila hal itu benar-benar terjadi, Christopher mengatakan, melepas segmen marketplace dapat menguntungkan bagi BUKA.
Dus, menurut Tim Riset MASI, rencana akuisisi itu harus dinilai berdasarkan marketplace saja. Berdasarkan penilaian MASI yang berbasis model arus kas diskonto (DCF) 10 tahun pada bisnis marketplace dan O2O, valuasi berjumlah Rp1,68 triliun dan nilai ekuitas Rp14,4 triliun. Dengan catatan, MASI mengecualikan sejumlah item seperti kas dan utang.
"Penilaian kami menyiratkan EV/pendapatan sebesar 0,34x untuk proyeksi 2024, jauh lebih rendah daripada rekan global di 0,92x, bahkan setelah menerapkan diskon pasar berkembang sebesar 35 persen dari rata-rata EV/Pendapatan 2024F sebesar 1,42x," jelas Christopher.