Jakarta, FORTUNE - Perdagangan saham milik pengembang properti Cina dengan utang besar, China Evergrande Group, kembali mengalami penangguhan di Bursa Efek Hong Kong (HKEX). Begitu juga dengan saham milik dua anak usahanya.
Sayangnya, HKEX tak memperinci alasan di balik penangguhan perdagangan saham Evergrande Group dan dua anak usahanya dalam pernyataan resmi. Adapun, dua anak usaha itu adalah Evergrande Property Services Group dan Evergrande Electric Vehicle Group, sebagaimana diwartakan oleh DW, dilansir Jumat (29/9).
Akan tetapi, pemberhentian sementara perdagangan saham itu terjadi setelah Ketua Evergrande Group, Hui Ka Yan atau Xu Jiayin mulai intensif menjalani masa pengawasan rumah oleh kepolisian.
Sebelum disuspensi, saham China Evergrande Group menurun 19 persen pada Rabu (27/9) waktu Hong Kong, menandakan koreksi sebesar 81 persen sejak saham kembali diperdagangkan mulai akhir Agustus.
Sementara itu, berdasarkan data Google Finance, saham China Evergrande Group telah tertekan 8,57 persen secara year to date (ytd). Dalam lima hari terakhir, tingkat koreksinya mencapai 34,69 persen.
Krisis Evergrande
Pada Maret 2022, Bursa Efek Hong Kong sudah pernah menangguhkan perdagangan saham Evergrande karena gagal memenuhi kewajiban publikasi laporan keuangan 2021. Suspensi itu berjalan selama 17 bulan.
Dulu, Evergrande pernah menjadi perusahaan real estate terbesar di Cina, tetapi mengalami gagal bayar pada 2021. Pada Agustus lalu, Evergrande mengajukan restrukturisasi utang demi menghindari gagal bayar utang senilai US$340 miliar.
Namun, pekan lalu, proses permohonan itu harus ditunda akibat “penjualan grup belum seperti yang diharapkan oleh perusahaan”, sebagaimana dilaporkan oleh Market Watch.
Selain itu, regulator keuangan Cina juga telah menyetujui akuisisi unit asuransi jiwa Evergrande Group melalui entitas korporasi milik negara.
Pada September lalu, polisi di Shenzhen, salah satu kota di Tiongkok Selatan, telah menahan sejumlah staf di unit pengelolaan kekayaan China Evergrande Group.
Secara umum, deretan gagal bayar utang di sektor properti Cina sejak 2021 telah mengakibatkan munculnya apartemen-apartemen setengah jadi, sehingga para pembeli rumah tak puas. Para pengamat cemas krisis real estate itu akan semakin menghambat perekonomian negara, bahkan bisa berdampak terhadap pasar global.