Jakarta, FORTUNE - Cinema XXI memutuskan untuk melantai di bursa efek pada Agustus 2023. Rupanya tak mudah berstatus “terbuka” setelah tiga dasawarsa beroperasi sebagai perusahaan keluarga.
Saat keluarga Anda mengelola sebuah usaha, maka waktu liburan pun bisa diselingi business meeting. Itu juga yang dialami oleh Hans Gunadi, mantan Direktur Utama PT Nusantara Sejahtera Raya Tbk, pengelola jaringan bioskop XXI. Di tengah makan malam dalam suasana liburan keluarga pada 2015, tiba-tiba
ada yang melontarkan tanya. “Ini bagaimana ke depannya, apakah kita akan tetap berjalan sebagai bisnis keluarga?” demikian cerita Hans kepada Fortune Indonesia (18/9/2023).
Pertanyaan itu berbuah dilema. Cinema XXI sebenarnya masih bisa terus beroperasi walau bertahan menjadi perusahaan tertutup. Namun, saat itu jaringan-jaringan bioskop besar di dunia dengan lebih dari 1.000 layar, umumnya berstatus perusahaan terbuka atau ditopang investor besar.
Pada 2015, jumlah layar Cinema XXI masih sekitar 800. Tapi, kelak di masa depan, Cinema XXI juga berambisi punya layar lebih dari 1.000–yang saat ini sudah terlampaui.
Dus, dengan pertimbangan tersebut, akhirnya para pendiri dan petinggi perusahaan berembuk. “Saat itu diputuskan, tidak bisa kalau sudah seribu layar kita beroperasi seperti bisnis keluarga seperti ini; belum punya buku yang proper, audit, dan sebagainya,” ujar Hans.
Tapi, menawarkan saham ke publik bukan hal mudah. Tak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Tak bisa juga semuanya dilakukan dalam lingkup keluarga. Proses initial public offering (IPO) harus melibatkan banyak pihak. Perlu delapan tahun melalui jalan berliku sampai perusahaan merealisasikan rencana itu.
Lika-liku persiapan IPO Cinema XXI
Semua diawali dengan diskusi dengan berbagai private equity (PE) pada 2016. Setelah diskusi panjang, dipilihlah firma investasi jangka panjang global asal Singapura, GIC, sebagai mitra. Sejak saat itu, Cinema XXI memanaskan mesin untuk menuju pasar modal. Keuangannya mulai diaudit oleh salah satu firma akuntan "Big 4". Lalu, transformasi dilakukan di berbagai bidang, di antaranya pemasaran, teknologi dan informatika, hingga merekrut talenta baru, seperti Chief Technology Officer.
“Jungkir baliklah tiga tahun tersebut. Tapi kelihatan hasilnya, angka kami dari 2016, 2017, 2018, 2019 naik terus,” katanya.
Titik kulminasi persiapan IPO Cinema XXI terjadi pada 2019. Saat itu, perusahaan mencatatkan sekitar 112 juta penonton—artinya 1 dari 2 orang Indonesia setidaknya menonton satu kali tiap tahunnya di bioskop mereka. Pada tahun itu, perusahaan pun mencetak pendapatan Rp6,89 triliun dan laba Rp1,27 triliun. Saat itu juga, Cinema XXI berniat masuk bursa pada 2021. Sesuai dengan merek bioskopnya, Cinema 21.
Sayang, rencana dan perbaikan yang sudah berjalan dengan lancar harus terhenti seketika. Pada 2020, pandemi meluluhlantakkan berbagai sektor bisnis. Bioskop salah satunya. Setelah lebih dari tiga dasawarsa, untuk pertama kalinya Cinema XXI menghentikan kegiatan operasional seluruh bioskop lebih dari 9 bulan (2020) dan 2,5 bulan (2021). Mimpi untuk masuk ke bursa pun tertunda.
Cinema XXI pun fokus untuk perlahan bangkit dari keterpurukan akibat gulungan ombak pandemi. Berbagai penyesuaian dan inovasi dilakukan. Remunerasi bagi dewan komisaris dan direksi dihilangkan sejak Maret 2020 hingga kondisi normal lagi. Efisiensi secara maksimal di berbagai lini tak terelakkan. Akhirnya, pada 23 Mei 2022, bioskop diizinkan beroperasi dengan kapasitas 100 persen lagi.
Hasilnya, walau baru bisa berbisnis secara penuh mulai pertengahan tahun, Cinema XXI berhasil mencetak pendapatan senilai Rp4,4 triliun pada 2022, dengan margin laba bersih 11,5 persen dan margin EBITDA 32,6 persen. Penontonnya bahkan berjumlah 67 juta pada 2022, naik dari 22 juta pada 2021.
Tahun berganti. Setelah diskusi dengan para pemegang saham dan GIC, akhirnya Cinema XXI mantap untuk menggelar IPO pada 2023, sejalan dengan laba yang cukup baik dan sudah bertumbuh lagi.
Tuai kritik dan saran
Rencana IPO Cinema XXI tak serta-merta diterima seluruh pihak terkait. Pada awalnya, niat Nusantara Sejahtera Raya untuk IPO menuai tanya. Ada yang menganggapnya cari penyakit. Karena jika menjadi perusahaan terbuka, Cinema XXI harus siap melaporkan kinerja ke publik.
“Ya itulah, harus ada konsekuensinya, you can’t win both world kan,” kata Hans. “Memang lelah, tapi kan [dengan IPO] kami menjadi perusahaan kuat yang terbuka dan menerapkan good corporate governance (GCG).”
Hans menambahkan, aksi IPO itu memang bukan ajang untuk mencari dana untuk ekspansi perseroan, melainkan untuk menjadi perusahaan dengan tata kelola dan rencana suksesi yang baik (good succession plan). Apalagi, menurutnya, sejak 2002, Cinema XXI terkenal sebagai perusahaan tanpa utang di neracanya. Pertumbuhannya sejak 2002–2016 pun organik, berasal dari segmen penjualan tiket serta makanan dan minuman. Saat itu, jika kinerja tahunan bagus, maka ekspansinya bisa bersifat masif—begitu pula sebaliknya ketika kondisi relatif menurun.
“Namun ke depannya, dengan persaingan saat ini, kami pikir tidak bisa begitu terus. Kalau sudah ada investor kan, ia pasti ingin pertumbuhan dua digit. Kami butuh dananya untuk itu sebenarnya,” ujarnya.