Jakarta, FORTUNE - Salah satu auditor keuangan 'Big 4', Ernst & Young Global Limited (EY), memproyeksikan IPO perusahaan energi terbarukan (EBT), berpotensi semakin tumbuh di masa depan.
Menurut EY Indonesia Strategy and Transactions Partner, Reuben Tirtawidjaja, dari segi volume, memang belum terlalu banyak IPO perusahan EBT. Namun, harga sahamnya menarik.
"Harga saham perusahaan-perusahaan ini [EBT} telah meningkat setidaknya 30 persen pada 30 September 2024 sejak penawaran perdana mereka, yang menunjukkan tingginya minat investor," jelas Reuben dalam keterangannya, dikutip Senin (14/10).
Saat ini, ada sejumlah perusahaan EBT yang sudah melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI), yakni PT Kencana Energi Lestari Tbk (KEEN), PT Arkora Hydro Tbk (ARKO), PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO), dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN). Sejak pencatatan saham, yang harganya melejit adalah PGEO (+34,86 persen) dan BREN (+183,90 persen).
Sejalan dengan komitmen Indonesia untuk meraih emisi nol bersih pada 2060 dan antisipasi kebijakan yang menguntungkan dari pemerintahan baru terhadap industri EBT, semarak IPO EBT pun berpeluang semakin ramai.
"Diharapkan lebih banyak perusahaan energi terbarukan akan melakukan IPO di tahun-tahun mendatang," ujar Reuben.
Antrean IPO per 11 Oktober 2024
Per 11 Oktober 2024, ada 27 perusahaan yang sedang bersiap-siap mencatatkan saham secara perdana di BEI. Mereka akan menyusul 36 perusahaan yang sudah menyelesaikan rangkaian aksi IPO di 2024, dengan total dana dihimpun Rp5,42 triliun.
Berdasrkan klasifikasi aset, mayoritas tergolong sebagai perusahaan aset skala besar (di atas Rp250 miliar). Disusul oleh perusahaan aset skala menengah (antara Rp50 miliar sampai dengan Rp250 miliar) yang berjumlah 12 perusahaan. Sementara, dua perusahaan lainnya adalah perusahaan aset skala kecil (di bawah Rp50 miliar).
Dari segi sektor, mayoritas calon emiten berasal dari sektor energi (19,2 persen). Kedua tertinggi adalah sektor consumer cyclicals, bahan baku, consumer non-cyclicals, perindustrian, dan properti & real estate (masing-masing 11,5 persen). Lalu disusul oleh sektor infrastruktur, kesehatan, dan keuangan (masing-masing 7,7 persen).