Jakarta, FORTUNE - Emiten properti jadi salah satu pilihan teratas beberapa sekuritas di paruh kedua 2023, menyusul dengan ekspektasi pengetatan suku bunga yang telah berada di puncaknya.
Di antara sejumlah sekuritas itu, yakni: Mandiri Sekuritas dan BRI Danareksa Sekuritas memandang positif prospek sektor tersebut. Itu karena sejumlah faktor, yakni: sentimen positif suku bunga, antisipasi rebound properti investasi setelah pandemi Covid-19, dan peluang emiten masuk ke Indeks LQ45.
“Rate sensitive sector sudah kami masukkan dari awal tahun. Sektor properti rebound-nya kami lihat sudah mulai signifikan,” kata Head of Equity Research Mandiri Sekuritas, Adrian Joezer dalam sesi konferensi pers beberapa waktu lalu. “Properti penjualan biasa-biasa saja tapi rally-nya sudah mulai lumayan jadi salah satu yang bagus.”
Sebagai gambaran, CTRA pada 2023 menargetkan pendapatan stabil atau kenaikan sekitar 5 persen (YoY). Untuk prapenjualan, perseroan membidik pertumbuhan 8 persen (YoY). Pada kuartal pertama, target sudah terwujud 38 persen terhadap target setahun dan akan dicatat sebagai pendapatan 1-2 tahun ke depan.
Sementara itu, PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) mengharapkan pertumbuhan pendapatan dan laba masing-masing 10 persen (YoY) pada 2023. Belanja modal yang disiapkan berjumlah Rp700 miliar dan sudah direalisasikan sekitar Rp300 miliar pada triwulan pertama.
Lalu, PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) mengincar target prapenjualan Rp8,8 triliun pada 2023. Dengan kontribusi 65 persen penjualan residensial, 17 persen penjualan komersial, serta 18 persen dari peluang penjualan ventura bersama.
Sentimen positif sektor properti dan faktor risiko
Selain itu, ada lagi dua sentimen positif bagi sektor properti. Berikut ini ulasan informasinya. Analis BRI Danareksa Sekuritas, Victor Stefano menyebut, kenaikan batas harga maksimal untuk perumahan bersubsidi pada 2023, sesuai keputusan pemerintah. Berdasarkan peraturan itu, harga maksimal rumah bersubsidi berkisar antara Rp162 juta sampai Rp234 juta tergantung daerah. Angka itu naik 3,5 persen sampai 7,7 persen dari harga 2020.
Aturan itu bertujuan menjawab permintaan terhadap perumahan dengan harga yang terjangkau, sehingga ada peluang potensial bagi pengembang yang beroperasi di segmen tersebut. Sekaligus untuk mengatasi tantangan biaya konstruksi yang meningkat di tengah pandemi Covid-19. Indeks Harga Grosir untuk bangunan perumahan dan non-hunian sendiri naik 14 persen saat pandemi.
Namun, secara khusus, peraturan itu tak terlalu berdampak terhadap emiten pengembang dengan segmen pasar menengah ke atas. Rumah bersubsidi dinilai sebagai segmen pasar berbeda.
“Dalam proyek Citra Maja PT Ciputra Development Tbk (CTRA), dengan harga terjangkau dan fokus pada segmen masyarakat berpenghasilan rendah, mungkin terdapat produk yang sesuai kategori rumah bersubsidi,” jelas Victor. Akan tetapi, karena marginnya rendah dan pasokannya terbatas, dampaknya diperkirakan tak terlalu besar.
Lebih lanjut, beberapa faktor risiko harus diwaspadai, yakni penjualan pemasaran yang lebih rendah, serta pergeseran kondisi ekonomi global yang berpotensi menyebabkan Bank Indonesia kembali meningkatkan suku bunga acuan.