Jakarta, FORTUNE - Andi Wijaya, Pendiri PT Prodia Widyahusada Tbk (PRDA) akrab dengan ragam zat kimia berkat profesi sebagai dosen kimia klinik di Universitas Atmajaya Solo tahun 1970-an.
Karena itu pula, ia meramu beberapa reagennya sendiri. Sebab, saat itu, reagen belum hadir dalam bentuk kit. “Jadi semua reagen hampir dibuat sendiri dengan seadanya, karena uangnya juga sedikit,” kenang Andi ketika menghadiri sesi Prodia Connect di Menara Astra, Jakarta (18/7).
Puluhan tahun berlalu, reagen-reagen yang dulu ia buat itu mulai jadi legasi di industri. Sambil tersenyum, ia membeberkan salah satu reagen yang ia patenkan, yakni reagen BJB. “Sekarang bahkan dicari oleh banyak orang,” ujarnya.
Yang sudah ia lakukan itu linear dengan mimpinya sejak dulu: menciptakan reagen buatan Indonesia. Ambisinya lahir di tengah banyaknya merek asing dari berbagai negara, seperti Jerman dan Amerika.
Namun, Andi tak bisa mewujudkannya sendirian. Maka, ia merintis reagen buatan lokal bersama DiaSys, sebuah produsen dan pengembangan solusi sistem diagnostik asal Jerman. Manifestasi dari kerja sama itu adalah Proline, perusahaan afiliasi Prodia, yang sama-sama berada di bawah naungan PT Prodia Utama.
“Kami mulai sepakati perjanjian dengan DiaSys pada April 2011, waktu itu di Hong Kong, kami resmi kerja sama,” kata Andi. “Pengalaman kami selama 13 tahun sampai sekarang sudah matang untuk membuat reagen.”
Dampak akuisisi saham Proline terhadap Prodia Widyahusada (PRDA)
Proline sendiri adalah produsen alat kesehatan diagnostik in vitro. Lokasinya di Industri Jababeka III, Cikarang. Saat ini, Proline mempunyai 1 pabrik yang telah beroperasi sejak 15 Oktober 2011. Sejak itu, Proline sudah memproduksi beragam produk reagen kimia rutin yang digunakan oleh ribuan fasilitas pelayanan kesehatan secara nasional. Saat ini, Proline sedang membangun pabrik kedua di atas tanah seluas 5.500 meter persegi. Pada akhir Juni lalu, prosesnya sudah sampai penyelesaian akhir atau topping off. Belanja modal untuk pembangunannya berjumlah Rp140 miliar. Rencananya, pabrik itu akan memiliki tiga tangki produksi reagen hematologi yang masing-masing berkapasitas 10.000 liter.
Ada anekdot unik di balik itu. “Sebelumnya, untuk reagen hematologi untuk periksa HB dan sebagainya, kami punya tangki 3.000 liter sekali aduk. Min Zheng [dari Mindray] bilang, ‘mana cukup [kapasitas itu] untuk melayani seluruh Indonesia?’,” ceritanya.
Memang, secara segmentasi, penjualan produk Proline 80 persen berasal dari faskes pemerintah. Sementara sisanya dari swasta. Di ranah pemerintah, misalnya, sekitar 2.000-an (20 persen) dari 10.000 puskesmas di Indonesia sudah membeli produk reagen Proline. Ini didukung oleh TKDN alat kesehatan produksi Proline.
“Produk kami ini, TKDN-nya sekitar 42–55 persen. Jadi, kalau menurut peraturan pemerintah, sudah masuk kategori bahwa kalau faskes itu milik pemerintah, maka produk tersebut harus dibeli,” jelas Direktur PT Prodia Diagnostic Line (Proline), Cristina Sandjaja di kesempatan yang sama.
Tak heran, pada akhir Juni lalu, Prodia memutuskan untuk membeli 39 persen saham Proline. Nilai transaksinya mencapai Rp72 miliar. Adapun, payback period dari transaksi itu diestimasikan butuh sekitar 5 tahun.
Aksi korporasi itu diproyeksi dapat meningkatkan aset dan ekuitas dari Rp12,87 miliar pada 2024 menjadi Rp44,48 miliar pada 2026. Adapun, internal rate of return (IRR) dari transaksi itu adalah 7,5 persen. Direktur Keuangan PRDA, Liana Kuswandi menambahkan, net present value (NPV) aksi pembelian itu positif, yakni Rp3,2 miliar.
“Rata-rata dampak per tahun [dari pembelian saham di Proline] kurang lebih 3 persen terhadap laba komprehensif PRDA,” kata Liana.