Berangkat dari Solo, Kisah Andi Wijaya Bawa Prodia Tetap Eksis
Dia termasuk tokoh penting dalam industri kesehatan.
Fortune Recap
- Andi Wijaya, pendiri Prodia, berusia 87 tahun dan terlibat dalam industri kesehatan Indonesia selama 30 tahun.
- Prodia didirikan pada 1973 setelah Andi dan rekannya menjadi pendonor darah bagi istri salah satu pendiri Prodia yang hendak melahirkan.
- Andi merasa heran dengan ketidakakuratan tes darah di rumah sakit saat itu dan mendapat saran untuk membuka laboratorium klinik sendiri.
Jakarta, FORTUNE - Usia Andi Wijaya sudah 87, suatu fase yang biasa disebut sebagai octogenarian. Di antara orang-orang Indonesia, pencapaian tersebut tergolong istimewa. Umur panjangnya bisa saja berakar pada banyak hal. Salah satunya mungkin daya hidupnya yang kuat.
Ketika Fortune Indonesia menemuinya di kantornya di kawasan Senen, Jakarta Pusat, dia natural saja menunjukkan semangat itu. Andi tidak canggung membagikan senyum dan melontarkan sapa pada orang-orang yang berpapasan dengannya.
Pria itu termasuk tokoh penting dalam industri kesehatan Tanah Air. Dia satu dari empat pendiri Prodia yang dengan pengalaman dan kebijaksanaannya, sanggup memimpin Prodia selama 30 tahun hingga 2003. Siapa pun kini dapat menyaksikan bahwa Prodia telah menjadi salah satu perusahaan yang bergerak di garis depan dalam pelayanan diagnostik medis di Indonesia.
Dan semua itu dirintis oleh Andi, Gunawan Prawiro Soeharto, Hamdono Widjojo, serta Singgih Hidayat, dari Kota Surakarta, Jawa Tengah, pada 1973.
Andi mengisahkan bahwa Prodia lahir dari kecemasan soal ketidakakuratan tes darah. Pada suatu hari, Hetty Lestari, istri Gunawan, hendak melahirkan. Namun, kondisi kandungannya bermasalah. Perempuan itu mengalami suatu kondisi yang diistilahkan dengan plasenta previa.
Jika ibu hamil mengalami itu, ari-ari atau plasentanya berada di bagian bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir. Karena situasi yang berisiko tersebut, dokter yang menanganinya memutuskan bahwa Hetty harus menjalani operasi caesar.
Masalahnya, itu zaman ketika Solo belum punya Palang Merah Indonesia (PMI). Karenanya, pihak rumah sakit membutuhkan pendonor langsung.
“Saya, Singgih, dan Hamdono bersedia menjadi pendonor bagi Hetty. Saya tahu betul golongan darah saya B. Singgih dan Hamdono jelas bukan O, sementara Gunawan O. Namun, hasil pemeriksaan memperlihatkan golongan darah mereka semuanya O,” kata Komisaris Utama PT Prodia Widyahusada Tbk (PRDA) ini kepada Fortune Indonesia (22/2).
Dengan hasil tes darah tersebut, Andi merasa heran. Bagaimana mungkin pemeriksaan yang begitu sederhana berujung kekeliruan. Dia ingat betul bahwa dari semua kawannya itu, hanya golongan darah Gunawan yang O. Dia pun mendatangi sang dokter kandungan dan mempertanyakan hasil tes darahnya. Tetapi, ia justru terkejut mendengar jawaban sang dokter.
“Kamu buka laboratorium klinik saja. Kamu dosen kimia klinik, kamu ahlinya,” demikian kata-kata sang dokter yang ditirukan Andi. Pada saat itu, Andi memang seorang pengajar di Universitas Atma Jaya, Solo.
Butuh waktu untuk awal mula berdiri
Berdasar atas celetukan itu, dan merasa bahwa kota mereka tinggal tidak memiliki laboratorium klinik yang baik, Andi dan ketiga temannya tadi bersepakat membuka laboratorium klinik. Namun, pendirian itu tidak langsung terjadi layaknya dari sim salabim.
Setidaknya keempatnya butuh waktu setahun untuk memikirkan calon bisnisnya sembari mengumpulkan dana. Bahkan, setelah waktunya untuk menyatukan modal, mereka tidak mendapat banyak. Andi mengatakan masing-masing dari mereka memberikan urunan Rp45.000, sehingga total uang yang terkumpul Rp180.000. Dana itu lalu mereka pakai untuk menyewa sebuah paviliun kecil selama lima tahun di Jalan Pasar Nongko No.83, Solo.
“Paviliun kami jadikan laboratoriumnya untuk mengambil sampel darah, dan hanya disekat sebagai ruang tunggu pasien,” ujarnya.
Kala itu, tujuan dari pendirian Prodia pada 7 Mei 1973 hanya satu: mendirikan laboratorium klinik yang berkualitas sehingga mampu menghasilkan diagnosis tepat dan akurat bagi masyarakat. Mereka tidak ingin kejadian yang dialami Hetty terulang.
Sebagai langkah awal, mereka membuat sendiri semua perabot laboratorium seperti meja dan kursi. Sisanya adalah barang-barang milik kampus tempat Andi dan Gunawan mengajar, yang merupakan kompensasi dari gaji yang belum dibayarkan karena kampusnya harus tutup.
“Mikroskop pakai bekas praktik mahasiswa. Karena waktu itu enggak digaji, saya memilih mikroskop monokuler, dan Gunawan memilih pipet, tabung gelas,” katanya.
Untuk menunjukkan betapa terbatasnya fasilitas mereka, usaha rintisan itu harus memanfaatkan bekas wadah Redoxon yang diberikan selang karet pada bagian dalamnya untuk difungsikan sebagai tabung centrifuge.
Walhasil, setelah semua peralatan siap, perjalanan Prodia pun dimulai. Karyawan pertamanya hanya dua, yakni Supinah dan Sri Hadiyanti. Supinah adalah perawat senior. Keahliannya dalam mengambil sampel darah membuat Andi tertarik merekrutnya. Kemudian, Sri merupakan mahasiswa sekaligus asisten Gunawan di Atma Jaya.
Ketika awal buka, pasien pertama Prodia adalah tetangga sebelah laboratorium tersebut, yang rutin memeriksa gula darahnya. Pada bulan pertama operasional, omzet yang didapat dari total lima pasien yang melakukan pemeriksaan mencapai Rp37.500. Uang sejumlah itu tidak cukup untuk membayar gaji para karyawan, apalagi laboratorium. Gaji Supinah saja Rp35.000 per bulan.
“Waktu itu saya bilang, ‘ini buat gaji Supinah dulu, ya?’ Kalau kami kan bujang-bujang, sedangkan dia sudah berkeluarga,” ujarnya.
Namun, angin baik mulai berembus ke arah mereka. Omzet lantas naik signifikan menjadi Rp1 juta per bulan. Keberhasilan ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari peran keempat pendirinya, terutama Andi dan Gunawan.
Kegigihan keduanya untuk mendatangi satu per satu dokter di Solo dan meminta mereka merujuk pemeriksaan di laboratorium Prodia membuahkan hasil. Sebagian besar dokter memberikan kepercayaannya pada laboratorium mereka.
Asal mula nama Prodia
Andi juga punya cerita kenapa Laboratorium klinik yang mereka dirikan dinamai Prodia. Dalam hematnya, nama Prodia terdiri dari penggalan dua kata. ‘Pro’ artinya ‘untuk’, sedangkan dia merupakan bagian dari diagnosis. Belakangan, Andi menambahkan makna: untuk si dia yang bergabung dengan Prodia.
“Artinya mutu ini harus bagus. Mutu buat kami harus selalu nomor satu,” ujarnya.
Prodia tidak sekadar berharap untung, kata Andi, tapi juga turut mengembangkan ilmu kedokteran laboratorium. Perusahaan itu menjadi jembatan bagi para dokter dan pasiennya dalam mencari solusi kesehatan lebih baik dengan menghadirkan laboratorium yang hasil kerjanya akurat.
Kemudian, sesuai dengan nama Prodia, ‘si dia’ yang diterjemahkan salah satunya sebagai pelanggan adalah sosok yang harus diutamakan pelayanannya. Untuk itu, Prodia selalu berupaya melahirkan layanan bermutu dan berkualitas.