Jakarta, FORTUNE - Bagaimana prospek pasar Obligasi di tengah ketidakpastian kebijakan suku bunga global pada sisa waktu 2024 ini?
Portfolio Manager, Fixed Income, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Laras Febriany, mengatakan pada kuartal II ini pasar obligasi memang dibuka dengan perubahan-perubahan ekpektasi. Kemudian, datang volatilitas tinggi dan sentimen pasar yang kurang kondusif.
Pada April 2024, pasar obligasi pun melemah. Pemicu utamanya, data inflasi Amerika Serikat (AS) yang lebih tinggi dari ekspektasi. Inflasi umum AS pun relatif meningkat selama Januari–Maret 2024. Alhasil, Fed mengindikasikan butuh waktu lebih lama untuk lebih yakin lagi bahwa inflasi domestik sudah benar-benar dalam tren penurunan, sebelum mantap melakukan pemangkasan suku bunga.
Namun demikian, seiring berjalannya waktu, ia melihat pasar telah melakukan penyesuaian sehingga volatilitas tampak mereda. Sentimen pun mulai pulih. Secara global, ekonomi diproyeksikan masih bertumbuh. IMF memprediksikan pertumbuhan pada level 3,2 persen (YoY) pada 2024. Katalis utamanya adalah kawasan negara berkembang, yang diproyeksi tumbuh 4,2 persen (YoY), disusul oleh kawasan negara maju, dengan pertumbuhan 1,7 persen (YoY).
"Angka-angka itu lebih tinggi dari proyeksi sebelumnya yang dirilis pada Januari lalu, sehingga kekhawatiran resesi sepertinya sudah tak menjadi skenario di pasar," kata Laras kepada Fortune Indonesia, Senin (27/5).
Selain itu, Ketua Fed pun menyatakan walau suku bunga belum akan diturunkan secepat harapan pasar sebelumnya, potensi kenaikan lebih lanjut kini sangat kecil. Dus, itu kian membuka peluang pemangkasan suku bunga. Laras menilai, itu dapat dipahami karena mayoritas komponen inflasi AS telah menurun, kecuali komponen transportasi dan shelter.
Bagaimana dampaknya terhadap Indonesia? "Apabila data ekonomi dan inflasi AS mereda, kondisi ini dapat mengurangi tekanan penguatan dolar AS sehingga Bank Indonesia (BI) tak perlu menaikkan suku bunga," ujar Laras.
Menurutnya, selain dari tekanan rupiah, MAMI tidak melihat faktor lain yang bisa memicu BI meningkatkan suku bunga, khususnya karena inflasi domestik masih terjaga. Saat ini pasar masih memproyeksikan ada peluang pemotongan Fed Funds Rate satu sampai dengan dua kali. Dus, MAMI memprediksi BI Rate bisa berada pada level 5,75 persen sampai dengan 6,25 persen pada akhir 2024.
Ihwal kenaikan suku bunga ke 6,25 persen pada April lalu, MAMI melihat pasar mengapresiasi hal itu. Apa indikatornya? Nilai tukar rupiah yang membaik dan stabil pada rentang Rp16.000 per dolar, imbal hasil SBN 10Y yang turun dari puncaknya di 7,25 persen ke level saat ini—yakni di bawah 7 persen.
"Serta investor asing yang mulai kembali masuk ke pasar obligasi pada Mei 2024," ujar Laras lagi.
Lebih lanjut, MAMI menilai fundamental ekonomi Indonesia masih terjaga kuat, dan katalis-katalis penopang dan potensi pasar finansial pun masih sangat cukup. Untuk itu, peluang jangka menengah panjang bisa menjadi fokus para investor obligasi.
Namun, volatilitas akibat faktor ketidakpastian suku bunga Fed masih harus dicermati.
"Jadikan volatilitas jangka pendek sebagai peluang yang belum tentu datang kembali, terutama dengan pandangan pemangkasan suku bunga yang masih dapat terjadi," kata Laras.