Harga Batu Bara Melonjak, Tiongkok Dilanda Dilema Krisis Listrik
Harga batu bara Tiongkok capai titik tertinggi 1.324 Yuan.
Jakarta, FORTUNE - Masih belum reda kasus Evergrande, Tiongkok kembali dilanda persoalan lain, yakni ancaman krisis listrik. Masalah ini diketahui terjadi di beberapa wilayah, seperti di bagian timur laut Tiongkok, yakni Jilin, Shenyang, Dalian, dan beberapa lainnya. Beberapa laporan media sosial dan pemberitaan menyebutkan bahwa lampu lalu lintas banyak dipadamkan, lift perumahan, bahkan jaringan telepon seluler 3G terpengaruh situasi kurang menguntungkan ini.
Reuters memberitakan, krisis listrik terjadi karena kurangnya pasokan batu bara untuk pembangkit listrik, standar emisi gas rumah kaca yang diperketat, dan permintaan yang begitu kuat dari industri. Selanjutnya, situasi ini pun mendorong harga batu bara sebanyak 7 persen ke sekor tertinggi seharga 1.324 Yuan, atau senilai US$ 205 dan kurang lebih Rp2,93 juta per tonnya, pada (28/9).
Lebih dari mati lampu biasa, krisis listrik ini mulai meluas dan mempengaruhi berbagai sektor, termasuk industri. Dengan kekurangan listrik yang dipicu oleh sedikitnya pasokan batu bara yang melumpuhkan sebagian besar industri.
Han Jun, Gubernur Provinsi Jilin, salah satu wilayah yang paling terdampak, menyerukan perlunya lonjakan impor batu bara. Sementara, asosiasi perusahaan listrik mengatakan, pasokan sedang diperluas "berapa pun biayanya". Jilin adalah salah satu dari lebih dari 10 provinsi yang terpaksa melakukan penjatahan listrik karena pembangkit merasakan panasnya kenaikan harga batu bara yang tidak bisa mereka berikan kepada konsumen.
Dampak krisis listrik pada produksi industri
Tiongkok memang sedang mengurangi emisi global dalam perjuangan melawan bencana perubahan iklim. Hal ini sejalan dengan komitmen Presiden Tiongkok, Xi Jinping yang berkomitmen pada 2030 akan mengurangi emisi karbon dioksida 65 persen lebih banyak dari 2005. Pembatasan listrik untuk konsumsi rumahan memang baru saja dimulai, namun industri-industri besar di Tingkok harus berjuang dengan pembatasan ini sekaligus menghadapi lonjakan harga listrik yang terjadi.
Melebarnya krisis pasokan listrik di Tiongkok telah menghentikan produksi di banyak pabrik, termasuk pemasok perusahaan teknologi dunia, Apple dan Tesla. Beberapa kota di Provinsi Guangdong yang berada di wilayah selatan danterkenal sebagai pusat manufaktur, telah meminta industri untuk mengekang penggunaan listrik dengan mengangguhkan sementara operasionalnya.
Pada sisi lain, Dewan Listrik Tiongkok, sebagai pemasok listrik, mengatakan dalam sebuah catatan pemberitaan Reuters, bahwa perusahaan listrik tenaga batu bara sekarang "memperluas saluran pengadaan mereka dengan biaya berapa pun" untuk menjamin panas musim dingin dan pasokan listrik.
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok terkoreksi turun
Sebagai dampak dari krisis listrik yang terjadi, maka pertumbuhan ekonomi Tiongkok pun terkoreksi. Goldman Sachs menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi Tiongkok dari 8,2 persen menjadi 7,8 persen. Faktor kekurangan energi yang berpengaruh pada turunnya angka produksi dinilai menjadi sebab terjadinya penurunan angka yang signifikan.
Goldman Sachs memperkirakan bahwa sebanyak 44 persen aktivitas industri China telah dipengaruhi oleh kekurangan listrik, yang berpotensi menyebabkan penurunan 1 poin persentase dalam pertumbuhan PDB tahunan pada kuartal ketiga, dan penurunan 2 poin poin dari Oktober hingga Desember.
Krisis pasokan listrik, yang disebabkan oleh kontrol lingkungan, kendala pasokan, dan harga yang melonjak, telah memaksa industri di seluruh negeri untuk memangkas produksi, dan membuat beberapa provinsi berebut untuk menjamin listrik dan pemanas bagi penduduk.
Pengaruh krisis listrik Tiongkok pada perekonomian Indonesia
Menukil Reuters, Han Jun, Gubernur Provinsi Jilin, yang memiliki populasi hampir 25 juta orang, mengatakan bahwa beberapa jalur perlu disiapkan untuk menjamin pasokan batu bara. Tiongkok bisa mendapatkan lebih banyak dari Rusia, Mongolia maupun Indonesia.
Pada sisi sebaliknya, sebagai negara pengeskpor batu bara, Indonesia sedang mengalami ledakan komoditas. Per (28/9), harga komoditas batu bara menyentuh level US$ 200/ton dan dianggap sebagai angina positif bagi negara-negara eksportir batu bara, terutama menjelang musim dingin.
Lionel Priyadi, Macro Equity Strategist, Samuel Sekuritas Indonesia, menegaskan bahwa Indonesia akan terus diuntungkan melalui ekspor dan surplus batu bara yang terjadi. Namun demikian, hal ini kemungkinan akan berakhir pada Maret 2022, saat transisi dari musim dingin ke musim semi.
“Krisis listrik di Tiongkok bagus untuk Indonesia, karena berdampak positif terhadap demand coal di masa depan. Jadi, harga batu bara, mungkin masih bisa naik terus, walaupun sudah tembus US$200 ya,” kata Lionel.