Permintaan Biodiesel Indonesia Dongkrak Harga CPO di 2025
Permintaan biodiesel naik, harga CPO Malaysia melonjak
Fortune Recap
- Harga CPO di Malaysia pada 2025 diperkirakan naik 5,4% dibandingkan tahun sebelumnya, mencapai US$972,07 per metrik ton.
- Implementasi mandat biodiesel B40 di Indonesia menjadi faktor pendorong naiknya harga CPO di Malaysia.
- Kenaikan harga CPO akan dihadapi hambatan dari pasokan minyak kedelai yang lebih murah dan produksi minyak sawit yang terbatas.
Jakarta, FORTUNE - Harga crude palm oil (CPO) di Malaysia pada 2025 diperkirakan akan mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi ini dipicu oleh meningkatnya permintaan Biodiesel berbasis minyak sawit di Indonesia, hingga betperan penting dalam dinamika pasar minyak sawit global.
Berdasarkan estimasi median dari para pedagang, analis, dan pelaku industri, harga minyak sawit acuan rata-rata akan mencapai US$972,07 per metrik ton pada 2025, tumbuh 5,4 persen dibandingkan 2024.
Sebagai perbandingan, harga penutupan CPO pada akhir tahun 2024 rata-rata berada di level US$921,89 per metrik ton. Ini merepresentasikan kenaikan sebesar 8,7 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kenaikan ini dipicu oleh cuaca buruk yang mengganggu pasokan dan membuat Harga Cpo mencapai puncaknya pada November 2024.
Faktor pendorong naiknya harga CPO di Malaysia, salah satunya implementasi mandat biodiesel B40 di Indonesia. Menurut Kepala Penelitian di Sunvin Group, sebuah perusahaan pialang minyak nabati yang berbasis di Mumbai, India, kebijakan biodiesel ini akan mengurangi ketersediaan CPO untuk ekspor. Efek ini diharapkan memberikan keuntungan bagi ekspor minyak sawit Malaysia.
CEO Asosiasi Minyak Sawit Malaysia, Roslin Azmy Hasan, mengatakan peningkatan tarif campuran biodiesel di Indonesia akan menyerap tambahan 1,2 hingga 1,7 juta metrik ton CPO.
"Rencana peningkatan tarif campuran biodiesel Indonesia menjadi 40 persen pada tahun 2025 diharapkan akan menyerap tambahan 1,2 hingga 1,7 juta metrik ton CPO," kata Roslin, dikutip dari Reuters pada Selasa (21/1).
Penurunan ekspor minyak sawit dari Indonesia, bersama dengan cuaca buruk yang melanda kawasan Asia Tenggara, berpeluang mendukung tren kenaikan harga. Selain dampak langsung dari kebijakan biodiesel, pasar juga mendapat dorongan tambahan jika Indonesia meningkatkan pungutan ekspor minyak sawit.
Namun, implementasi kenaikan ini masih membutuhkan peraturan yang mendukung. Kebijakan ini diharapkan tidak hanya mendukung program biodiesel, tetapi juga memengaruhi dinamika perdagangan global minyak sawit.
Tantangan produksi CPO
Di sisi lain, kenaikan harga CPO diperkirakan akan menghadapi hambatan dari meningkatnya pasokan minyak kedelai dari Amerika Selatan. Minyak kedelai ini ditawarkan dengan harga yang lebih kompetitif dibandingkan dengan minyak tropis, sehingga memberikan alternatif bagi para pembeli global. Salah satu penjual di New Delhi, India, yang bekerja untuk rumah dagang global, menyoroti bahwa ketersediaan minyak kedelai yang lebih murah dapat membatasi ruang kenaikan harga minyak sawit.
Pada sisi produksi, baik Indonesia maupun Malaysia diprediksi akan mencatat kenaikan moderat dalam produksi minyak sawit pada 2025. Produksi minyak sawit di Indonesia, sebagai produsen terbesar dunia, diproyeksikan tumbuh sebesar 1,9 persen dibandingkan tahun lalu, mencapai total 29,8 juta ton.
Sementara Malaysia, sebagai produsen terbesar kedua, diperkirakan akan memproduksi 19,5 juta ton minyak sawit pada tahun ini, naik sebesar 0,83 persen dari tahun sebelumnya. Angka ini merupakan capaian tertinggi sejak 2019.
Meskipun terjadi peningkatan produksi di kedua negara, terdapat beberapa tantanganindustri minyak sawit, terutama di Malaysia. Cuaca buruk yang berkelanjutan, kekurangan tenaga kerja, dan tingkat penanaman kembali yang rendah menjadi faktor utama yang membatasi potensi pertumbuhan produksi di negara tersebut.
Masalah tenaga kerja menjadi isu yang belum terselesaikan dalam beberapa tahun terakhir dan berdampak pada efisiensi operasional perkebunan sawit di Malaysia. Di sisi lain, meningkatnya fokus pada biodiesel di Indonesia menunjukkan potensi dampak signifikan terhadap pasar global.
Kebijakan biodiesel B40 tidak hanya dirancang untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan dalam negeri, tetapi juga memiliki konsekuensi luas terhadap pasokan minyak sawit global. Dengan menyerap sebagian besar produksi minyak sawit untuk kebutuhan domestik, kebijakan ini mengurangi volume ekspor, yang pada gilirannya memberikan tekanan ke atas pada harga internasional.
Namun, prospek pasar minyak sawit tetap dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal, seperti kondisi cuaca di kawasan Asia Tenggara dan dinamika persaingan dengan minyak nabati lainnya.
Ketergantungan pada faktor cuaca menjadi perhatian utama, mengingat potensi gangguan terhadap hasil panen yang dapat memengaruhi pasokan secara signifikan. Selain itu, meningkatnya produksi minyak kedelai dari Amerika Selatan terus menjadi ancaman bagi harga minyak sawit, karena minyak kedelai yang lebih murah menawarkan pilihan alternatif bagi pembeli internasional.
Secara keseluruhan, dinamika harga dan produksi minyak sawit di tahun 2025 mencerminkan kompleksitas pasar global yang dipengaruhi oleh kebijakan domestik, kondisi cuaca, dan persaingan dengan minyak nabati lainnya.
Peningkatan permintaan biodiesel di Indonesia berfungsi sebagai pendorong utama kenaikan harga CPO, sementara tantangan eksternal seperti persaingan harga minyak kedelai dan hambatan produksi tetap menjadi faktor penyeimbang. Dengan demikian, keberlanjutan tren ini akan sangat tergantung pada bagaimana para pelaku industri dan pemerintah merespons tantangan dan peluang yang ada.