Pengamat: Ruang Tumbuh Perusahaan Konsumen Primer Terbatas
Pelaku pasar dinilai tak lagi memilih saham konsumen primer.
Jakarta, FORTUNE - Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat saham-saham yang tergabung dalam indeks sektor barang konsumen primer (consumer-non-cyclicals) mencatatkan kinerja negatif sepanjang tahun ini. Bahkan, saham-saham sektor tersebut memiliki kinerja terburuk dibandingkan sektor lainnya.
Berdasarkan data statistik bulanan BEI per Agustus, indeks saham barang konsumen primer tercatat minus 16,33 persen sejak awal tahun ini atau secara year-to-date/ytd. Bahkan, secara tahunan indeks tersebut turun mencapai 19,06 persen.
Pada perdagangan Jumat (17/9), indeks barang konsumen primer masih belum lepas dari zona kontraksi. Menurut data BEI, indeks tersebut terkoreksi 15,84 persen secara ytd.
Dengan posisi pergerakan saham seperti itu, indeks barang konsumen primer tercatat memiliki kinerja terburuk. Sebagai perbandingan, indeks sektor barang konsumen nonprimer saat ini justru tumbuh 6,95 persen secara ytd. Indeks sektor finansial juga tumbuh 9,93 persen, infrastruktur 12,31 persen, dan transportasi dan logistik 21,50 persen.
Unilever sampai Gudang Garam
Dari data statistik bulanan BEI juga terlihat bahwa indeks sektor barang konsumen primer ini diisi sejumlah emiten atau perusahaan tercatat di berbagai subsektor, antara lain: perusahaan makanan-minuman, ritel, rokok, dan produk rumah tangga yang tidak tahan lama.
Data sama mengungkap setidaknya ada lima perusahaan yang memiliki kapitalisasi pasar terbesar pada indeks sektor tersebut seperti PT Unilever Indonesia Tbk dengan nilai Rp154,5 triliun, PT H.M Sampoerna Tbk Rp116,3 triliun, PT Charoen Pokphand Tbk Rp104,9 triliun, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk Rp98,3 triliun, dan PT Gudang Garam Tbk Rp63,6 triliun.
Harga saham Unilever secara ytd sudah menurun 11,69 persen. Kemudian, harga saham H.M Sampoerna juga turun 35,97 persen, Indofood CBP 9,16 persen, dan Gudang Garam 22,32 persen. Kecuali, harga saham Charoen Pokphand masih naik tipis 4,25 persen.
Persepsi Pelaku Pasar
Menurut Pengamat Pasar Modal Asosiasi Analis Efek Indonesia, Reza Priyambada, penurunan indeks saham barang konsumen primer disinyalir terjadi akibat kondisi persepsi pelaku pasar saat ini. Investor diperkirakan memiliki anggapan bahwa perusahaan-perusahaan pada sektor tersebut tidak lagi memiliki ruang untuk bertumbuh meski berkinerja baik.
Pasalnya, lanjut Reza, sektor barang konsumen primer disinyalir bersaing ketat pada masing-masing subsektor. Kondisi itu membuat masing-masing emiten sektor ini bersifat defensif atau mempertahankan pangsa pasarnya. Faktor ini yang kemudian membuat ruang tumbuh mereka terbatas.
“Investor melihat sektor konsumen primer ini pasarnya sudah penuh dan ruang pertumbuhannya terbatas meskipun memiliki kinerja yang baik,” kata Reza kepada Fortune Indonesia.
Pada saat sama, kata Reza, pelaku pasar juga melihat bahwa ada sektor-sektor saham lain yang masih berpotensi tumbuh tinggi. Dia menyebutkan investor memberikan perhatian khusus pada sektor-sektor seperti teknologi dan perbankan digital.
Berdasarkan data BI, indeks sektor teknologi saat ini tercatat mengalami pertumbuhan hingga 808,2 persen secara ytd. Indeks sektor teknologi ini mencatatkan pertumbuhan tertinggi dibanding sektor lainnya.
Senada, Head of Equity Research Samuel Sekuritas, Suria Dharma, mengatakan saham barang konsumen primer turun akibat investor tidak lagi memilih sektor tersebut. Menurutnya, sektor barang konsumen primer memang menjadi pilihan tahun lalu. Namun, kini, para investor cenderung memilih saham sektor siklikal seiring upaya pemulihan ekonomi.
“Beberapa sektor yang cukup positif saat ini banking, telekomunikasi, metals, kelapa sawit atau CPO. Dan yang tahun lalu tertekan namun sekarang pulih seperti poultry (perunggasan) dan ritel,” kata Suria kepada Fortune Indonesia.
Di sisi lain, lanjut Suria, dengan harga saham sektor barang konsumsi primer yang turun saat ini, valuasinya menjadi menarik. “Saham konsumer jadi lebih murah dibandingkan historis,” katanya.