Pasar Kripto dalam Tren Koreksi, Simak Prospek ke Depannya
Bitcoin Diperdagangkan di Bawah US$95.000
Fortune Recap
- Nilai aset kripto mengalami koreksi pasca data ekonomi AS dirilis, bitcoin turun di bawah US$95.000 per koin.
- Mayoritas aset kripto seperti DOGE, AVAX, LINK, DOT, dan UNI juga mengalami penurunan lebih dari 10 persen dalam 24 jam terakhir.
- Kekhawatiran tentang kemungkinan inflasi AS yang diprediksi bakal meningkat karena data ekonomi AS yang lebih baik mempengaruhi penurunan pasar kripto.
Jakarta, FORTUNE - Nilai Aset Kripto mengalami koreksi usai dirilisnya data ekonomi Amerika Serikat (AS). Padahal, aset digital ini sempat dalam tren bullish, dan bahkan beberapa kali menembus all time high di atas US$100.000 seiring sentimen efek Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Namun, kini Bitcoin diperdagangkan di bawah level US$95.000 per koin. Melansir CoinMarketCap, Kamis (9/1) bitcoin diperdagangkan US$94,128 atau turun 1,64 persen dalam 24 jam terakhir.
Hal ini juga diikuti penurunan mayoritas aset kripto seperti DOGE, AVAX, LINK, DOT, dan UNI yang masing-masing mengalami penurunan lebih dari 10 persen dalam 24 jam terakhir.
Analis Reku, Fahmi Almuttaqin, mengatakan penurunan pasar kripto ini dipengaruhi oleh kekhawatiran tentang kemungkinan inflasi AS yang diprediksi bakal meningkat karena data ekonomi AS yang lebih baik. Kondisi ini dikhawatirkan membuat Fed menahan suku bunga.
Laporan Institute for Supply Management (ISM) menunjukkan indeks PMI sektor jasa naik dari 52,1 pada November menjadi 54,1 pada Desember. Kenaikan ke level tertinggi dalam hampir dua tahun itu menunjukkan kondisi permintaan yang masih kuat. Hal ini juga melampaui perkiraan ekonom yang memproyeksikan angka 53,3.
Di sisi lain, terjadi defisit perdagangan sebesar US$4,6 miliar menjadi US$78,2 miliar.
Sementara itu, indeks harga yang dibayarkan (prices paid) untuk sektor jasa melonjak dari 58,2 pada November menjadi 64,4 pada Desember, yang merupakan level tertinggi sejak Februari 2023. Kenaikan tersebut menyoroti tantangan inflasi yang masih kuat sejalan dengan pandangan Fed untuk mengurangi pelonggaran pada tahun ini.
Di sisi lain, terjadi defisit perdagangan yang melebar sebesar US$4,6 miliar menjadi US$78,2 miliar. Menurut Fahmi, pelebaran defisit disebabkan oleh peningkatan impor lebih tinggi.
Tidak hanya itu, data pasar tenaga kerja AS pada November 2024 yang dirilis semalam menunjukkan jumlah perekrutan turun dari 125.000 dari 5,394 juta pada Oktober menjadi 5,269 juta. Ini dapat menjadi faktor pendukung arah kebijakan presiden AS terpilih, Donald Trump, untuk mendongkrak tarif, sehingga berpotensi signifikan mendorong kenaikan inflasi.
“Situasi tersebut mungkin mengindikasikan meningkatnya kehati-hatian para pelaku usaha di tengah outlook ekonomi yang beragam saat ini,” katanya.