Harga Minyak Turun di Bawah US$100 per Barel, 2 Faktor Ini Penyebabnya
Sentimen sanksi Iran dan lockdown Cina pengaruhi harga
Jakarta, FORTUNE - Harga minyak dunia melemah hingga berada di bawah US$100 per barel pada perdagangan Selasa (15/3) atau Rabu (16/3) pagi WIB. Penurunan ini merupakan yang terendah dalam tiga pekan terakhir. Apa penyebabnya?
Mengutip Reuters, harga patokan minyak mentah berjangka Brent dan WTI AS menyentuh di bawah US$100 per barel untuk pertama kalinya sejak akhir Februari. Sejak menyentuh titik kulminasi sepanjang 14 tahun pada 7 Maret lalu, harga minyak Brent sudah terkoreksi hampir US$40 dan WTI lebih dari US$30.
Selama sesi kemarin, harga minyak Brent berjangka tergelincir 6,5 persen menjadi US$99,91 per barel. Sementara minyak WTI terkoreksi 6,4 persen ke level US$96,44 per barel.
Berdasarkan pantauan Fortune Indonesia pada Rabu pukul 08.37 WIB, harga minyak brent berjangka telah kembali ke level US$100,73 per barel (+2,35 persen). Sementara minyak WTI telah menguat 0,69 persen ke level US$97,11 per barel.
Penyebab penurunan harga minyak
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan harga minyak mulai merosot. Sentimen pertama datang dari langkah Rusia yang dikabarkan tengah mempertimbangkan untuk kembali menghidupkan perjanjian nuklir Iran.
Pembicaraan tersebut dapat mengakibatkan pencabutan sanksi terhadap sektor minyak Iran dan memungkinkan Teheran melanjutkan ekspor minyak mentah ke pasar global. Moskow merupakan salah satu pihak yang terlibat dalam pakta tahun 2015 itu.
Kedua, adanya kekhawatiran pedagang bahwa pembatasan wilayah (lockdown) di Cina akan memengaruhi permintaan
Bisa dibilang, Rusia merupakan pengekspor minyak mentah dan bahan bakar terbesar dunia. Banyak pembeli telah menghindari pasokan dari negara ini sejak invasi mereka ke Ukraina, sehingga memicu kekhawatiran gangguan pasokan minyak mentah harian.
Mengutip Reuters, perwakilan Ukraina pada Selasa mengatakan, sedang berlangsung diskusi dengan Rusia ihwal rencana gencatan senjata dan penarikan pasukan Moskow dari Ukraina. Aksi jual pun menekan harga minyak lebih rendah, meksi banyak juga yang memperkirakan volatilitas akan berlanjut.
“Sulit untuk melihat bagaimana kedua pihak akan siap membuat konsensi yang bisa saling diterima,” tulis riset dari Kpler.
Menurut OPEC, permintaan minyak pada 2022 menghadapi tantangan akibat invasi Rusia ke Ukraina dan kenaikan inflasi sehingga terjadi lonjakan harga minyak. Alhasil, ada risiko pengurangan estimas permintaan yang signifikan tahun ini.
Belum lagi, Cina saat ini kembali menerapkan lockdown di Shenzhen. “Diperkirakan, penguncian parah di Cina dapat membahayakan konsumsi minyak 0,5 juta barel per hari, yang selanjutnya akan diperparah oleh kekurangan bahan bakar karena harga energi yang meningkat,” jelas Analis Pasar Minyak Senior Rystad Energy, Louise Dickson.