Ekspor Ayam Malaysia Kembali Dibuka, Ini Dampak ke Emiten Unggas
Malaysia melonggarkan larangan ekspor ayam ke Singapura.
Jakarta, FORTUNE - Performa para emiten unggas seperti PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) dan PT Charoen Pokphand Tbk (CPIN) berpotensi terdampak kebijakan pelonggaran larangan ekspor ayam Malaysia.
Negeri Jiran diketahui kembali membuka ekspor ayam hidup per Selasa (11/10). Kendati begitu, pelarangan ekspor ayam utuh, bagian ayam, serta anak ayam berusia sehari masih berlanjut.
“Putusan itu diambil setelah pasokan ayam dalam negeri mulai stabil pada kuartal ketiga 2022, dengan rerata surplus 1,8 juta ekor per bulan,” kata Menteri Pertanian dan Industri Makanan Malaysia, Ronald Kiandee, dikutip dari Bloomberg, Kamis (13/10).
Sebelumnya, para emiten perunggasan Tanah Air diuntungkan oleh larangan ekspor unggas Malaysia. Sebab, imbas larangan tersebut, salah satu negara pengimpor ayam yakni Singapura mencari opsi pemasok lain di luar Malaysia demi memenuhi kebutuhan konsumen.
Lantas, bagaimana dampak perubahan kebijakan itu terhadap para emiten unggas di Indonesia seperti CPIN dan JPFA?
Potensi perluasan pasar menipis
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus dan tim, menilai Badan Pangan Singapura masih akan mendiversifikasi pemasok guna menekan risiko kekurangan pasokan.
Menurutnya, potensi perluasan pasar emiten unggas masih terbuka. Tapi, peluangnya akan menipis mengingat Malaysia menduduki posisi strategis di pasar sebagai pengekspor produk unggas terbesar ke-49 dunia.
Biaya logistik dan bahan baku ekspor unggas lebih terjangkau, sebab Malaysia mengapalkan ayam hidup. Penyembelihan dan pendinginan baru dilakukan di Negeri Singa.
“Sementara, dari Indonesia bentuknya frozen, ayam olahan, yang mana akan ada biaya tambahan dari sisi operasi dan logistik yang harus menggunakan cold storage,” jelas Nico dalam riset.
Emiten unggas hadapi kondisi menantang
Dengan upaya pemerintah memperkuat ketahanan pangan terancam perang, para emiten unggas menghadapi tantangan kenaikan harga bahan baku jagung dan bungkil kedelai sepanjang 2022. Meski sudah menurun signifikan dari titik puncaknya pada April-Mei.
Ditambah, harga ayam pun tertekan ke bawah Rp34.000 per kg pada Oktober ini. Penurunan harga unggas, seperti live bird pun dihadapi lewat kebijakan regulator.
Analis BRI Danareksa Sekuritas, Victor Stefano, mengatakan Badan Pangan Nasional dan 10 produsen unggas seperti CPIN, JPFA, dan PT Malindo Feedmill Tbk (MAIN) sepakat menyerap 30 ton live bird per hari demi mengurangi kelebihan pasokan.
Tapi, di awal bulan ini, Victor berujar, “hal itu belum berdampak signifikan terhadap harga live bird.”
Nico menyebut, berbagai tantangan itu telah menekan margin laba bersih para emiten perunggasan. Sebut saja CPIN yang mencatatkan penurunan margin laba bersih dari 11 persen menjadi 8 persen di paruh pertama 2022. Senada dengan JPFA–dengan portofolio ekspor 1,4 persen–yang margin laba bersihnya terkoreksi dari 5,5 persen jadi 3,4 persen.
Untungnya, CPIN masih bisa menjaga pertumbuhan penjualan sebesar 12,4 persen. Di sisi lain, JPFA membukukan penurunan penjualan 10,5 persen. Hal itu mengindikasikan pelaku industri unggas terbebani gabungan antara kenaikan harga bahan baku dan harga energi.
Dus, agar bisa bertahan, para emiten harus menyesuaikan harga terhadap konsumen serta melakukan efisiensi operasional. “Untuk menjaga margin di tengah kondisi menantang,” ujar Nico.
Dari segi kinerja saham, dalam tiga bulan terakhir CPIN belum mampu melampaui IHSG (-2,33 persen VS 2,84 persen). Pun begitu dengan JPFA (-2,72 persen VS 2,84 persen). Artinya, sentimen ekspor ke Singapura berbentuk karkas beku dan ayam olahan belum bisa mengerek naik kinerja saham emiten itu.
Adapun, jumlah ekspor ayam para emiten disebut berjumlah 50 ton dan akan berlanjut secara bertahap sebanyak 1.000 ton.
“Ini dinilai membutuhkan intervensi pemerintah dalam rangka stabilisasi harga pangan untuk kebutuhan bahan baku industri,” pungkas Nico.