PMI Indonesia Kontraksi, Bagaimana Dampak ke Pasar Saham?
Secara historis, penurunan PMI bisa turut menekan indeks.
Fortune Recap
- PMI Indonesia Juli 2024 kontraksi pertama kali sejak Agustus 2021, turun ke angka 49,3 dari 50,7 pada Juni 2024.
- Kontraksi PMI berdampak negatif pada indeks saham dan emiten terkait, mempengaruhi kinerja keuangan pelaku pasar.
- Inflasi yang terjaga menambah probabilitas pemangkasan suku bunga BI, namun IHSG tetap bertahan di zona hijau.
Jakarta, FORTUNE - PMI (Purchasing Manager's Index) Indonesia Juli 2024 terkontraksi untuk pertama kalinya sejak Agustus 2021. Ke depannya, bagaimana dampaknya terhadap pasar modal dan emiten terkait?
Adapun, S&P Global mengumumkan, PMI Indonesia pada Juli 2024 berada di angka 49,3, terkoreksi secara kuartalan dari 50,7 pada Juni 2024. Hal itu terjadi pertama kali setelah Agustus 2021, ketika PMI Indonesia anjlok ke 43,7.
Saat itu, indeks saham yang berkaitan erat dengan PMI Indonesia pun terkena dampak negatifnya. Kontraksi PMI Indonesia di tahun itu sudah berlangsung sejak Juli 2021 (40,1 poin). Bahana Sekuritas mencatatkan, sepanjang Maret–Juli 2021, Indeks LQ45 tertekan 12 persen akibat proyeksi pelemahan kinerja keuangan dari para pelaku pasar.
"Waspada potensi pelemahan ekonomi yang bisa mempengaruhi pendapatan perusahaan pada kuartal III 2024," demikian menurut Head of Research Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro dan Analisnya, Drewya Cinantyan dalam risetnya.
Sementara itu, Economics Director S&P Global Market Intelligence, Paul Smith menjelaskan, kontraksi pada PMI Indonesia pada Juli terjadi karena penurunan marginal dari segi operasional akibat perlambatan pasar secara umum.
"Permintaan baru berkurang dan produksi menurun untuk pertama kali dalam dua tahun [sejak September 2022]," kata Smith.
Alhasil, para produsen pun kini dalam posisi waspada. Apalagi, dengan adanya tantangan seperti pengiriman melalui rute yang krusial yaitu Laut Merah.
Namun demikian, sepanjang perdagangan Kamis (8/1), IHSG berhasil bertahan di zona hijau dan menguat 0,97 persen di level 7.325,99 pada akhir perdagangan.
Pilarmas Investindo Sekuritas menyebut, katalisnya adalah rilis data inflasi yang masih terjaga sesuai target, yakni di rentang 2,5±1 persen. Yang mana, inflasi pada Juli 2024 mencapai 2,13 persen (YoY), melandai dari 2,51 persen (YoY) pada Juni 2024.
"Inflasi yang terjaga dan terus mengalami penurunan tentu memperbesar probabilitas pemangkasan suku bunga Bank Indonesia (BI) pada 2024," jelas Tim Riset Pilarmas Investindo Sekuritas.
Emiten yang berisiko terdampak penurunan PMI Indonesia
Chief Economist & Head of Research Mirae Asset Sekuritas Indonesia (MASI), Rully Wisnubroto mengatakan, untuk saat ini, emiten manufaktur memang sangat terpengaruh oleh kondisi saat ini; saat PMI mulai terkontraksi.
Kendati demikian, dalam menghadapi situasi tersebut, ketahanan tiap emiten dari berbagai subsektor manufaktur berbeda-beda. "Secara umum memang penjualan turun, emiten-emiten yang dapat mempertahankan kinerja adalah mereka yang bisa menekan biaya," kata Rully kepada Fortune Indonesia (8/1).
Untuk subsektor manufaktur makanan dan minuman misalnya, Mayora masih mencatatkan kinerja yang cukup baik. Menurut Rully, walaupun gross profit margin menurun, MYOR masih mampu mengurangi biaya, khususnya untuk promosi dan periklanan.
"Di sektor otomotif, AUTO juga kinerjanya cukup baik, karena mereka berhasil melakukan efisiensi, sehingga COGS turun," ujarnya.
Berbeda lagi dengan produsen barang konsumsi yang berkinerja kurang baik, antara lain UNVR, yang terkoreksi karena penurunan penjualan. Sementara itu, emiten subsektor manufaktur komoditas, INCO, membukukan pelemahan laba karena ASP-nya menurun.