Great Resignation 2.0 Terjadi Saat Pekerja Overworked dan Underpaid

Kemunculan teknologi AI bisa pacu pengunduran diri pekerja.

Great Resignation 2.0 Terjadi Saat Pekerja Overworked dan Underpaid
Pekerja Kantoran Saat Jam Makan Siang di Canary Wharf, London. Shutterstock/Viiviien
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Lembaga Survei PwC mengungkap temuan tentang banyaknya  karyawan di seluruh dunia terbebani dengan pekerjaan (Overworked) dan dibayar rendah (Underpaid), sehingga menyebabkan mereka mempertimbangkan mengundurkan diri dari pekerjaan dibandingkan saat Great Resignation 2022.  Temuan ini terangkum dalam riset Global Workforce Hopes & Fears Survey.

PwC dalam laporannya menuliskan, milenial, diikuti oleh karyawan Gen X dan Gen Z, menemukan peningkatan mengejutkan sebesar 28 persen dalam jumlah orang yang berencana berganti pekerjaan, dibandingkan dengan 19 persen pada masa Great Resignation 2022. “Alasan mereka: beban kerja yang lebih tinggi, ambisi karier, dan teknologi baru yang masuk ke tempat kerja,” demikian bunyi laporan tersebut.

Pemimpin pasar global dan layanan pajak dan hukum PwC Inggris, Carol Stubbings, mengatakan bahwa banyak pekerja yang merasa lebih baik untuk pindah ke peran baru, dengan harapan mendapatkan kelonggaran. “Karyawan mungkin ingin beralih karena berbagai alasan, banyak di antaranya bergantung pada keadaan unik mereka dan tren lebih luas yang dihadapi geografi, industri, dan peran mereka,” katanya.

Selain itu, teknologi baru seperti generatif AI (Artificial Intelligence) dan penerapannya di tempat kerja tetap menjadi yang terdepan dan utama bagi karyawan. Kamudian, memperluas keahlian dan memajukan karier juga mendorong mereka untuk mempertimbangkan untuk terjun ke dunia kerja.

Penelitian lain mengenai hal ini juga menunjukkan hasil serupa. Survei LinkedIn dan Microsoft yang diterbitkan awal tahun ini terhadap 31.000 orang di seluruh dunia, mengungkapkan pekerja yang berhenti dari pekerjaannya pada tahun mendatang jauh lebih tinggi dibandingkan saat pandemi.

Teknologi AI

Ilustrasi penerapan teknologi AI. (dok. IBM)

Khusus untuk perkembangan teknologi AI, riset PwC menunjukkan bahwa teknologi ini dapat membantu meningkatkan efisiensi, menjadikannya sangat berharga di tempat kerja di masa depan. Meski begitu, sangat sedikit karyawan yang menggunakan alat generatif yang didukung AI secara teratur. Namun, Stubbings menyebut hal ini bukan berarti bahwa para CEO tidak optimistis pada kehadiran AI.

Studi juga menunjukkan, 72 persen dari responden yang jarang menggunakan AI berpendapat bahwa teknologi ini akan meningkatkan kualitas pekerjaan mereka, sementara setengah dari mereka percaya bahwa teknologi ini akan menghasilkan gaji yang lebih tinggi.

Oleh karena itu, PwC menyarankan para manajer untuk mengambil tindakan dalam membantu karyawan menavigasi keseimbangan antara semua perubahan di tempat kerja dan tidak merasa kewalahan saat melakukannya.

Untuk itu, penting menciptakan budaya belajar, di mana memberikan kesempatan untuk belajar adalah bagian dari DNA organisasi.

Magazine

SEE MORE>
Investor's Guide 2025
Edisi Januari 2025
Change the World 2024
Edisi Desember 2024
The Art of M&A
Edisi November 2024
Businessperson of the Year 2024
Edisi Oktober 2024
Turning Headwinds Into Tailwinds
Edisi September 2024
Indonesia's Biggest Companies
Edisi Agustus 2024
Human-AI Collaboration
Edisi Juli 2024
The Local Champions
Edisi Juni 2024

Most Popular

Profil Rahmat Shah, Pengusaha Sukses dan Ayah Raline Shah
Baru Sepekan IPO, Saham RATU Kena UMA!
Pengiriman Boeing pada 2024 Turun ke Level Terendah Sejak Pandemi
Mirae Asset Beberkan Saham Berdividen Tinggi Layak Pantau Tahun Ini
Siapa Pemilik Aplikasi Jagat? Seorang Arsitek Lulusan MIT
BEI Catat 19 Perusahaan dalam Pipeline IPO Saham, 17 Beraset Besar