Jakarta, FORTUNE – Presiden Joko Widodo (Jokowi) minta satuan tugas untuk mengambil langkah cepat dalam pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Hal ini disampaikan Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD setelah mengikuti rapat internal kabinet bersama Presiden. “Dalam satu tahun saja, mayat yang pulang karena TPPO mencapai 1.900 orang lebih. Khusus di NTT, sejak Januari sampai dengan bulan Mei itu sudah mencapai 55 orang mayat pulang karena perdagangan orang,” ujarnya dalam konferensi pers yang terpantau di kanal YouTube Setpres, Selasa (30/5).
Menurut Mahfud, Indonesia memiliki masalah dengan TPPO, dengan modus mengirim orang ke luar negeri, namun dijadikan budak yang dianiyaya atau terlibat dalam kejahatan. Hal ini terjadi melalui pengiriman tenaga kerja ilegal.
“Presiden tadi menyatakan, melakukan restrukturisasi satgas tim Tindak Pidana Perdagangan Orang, kemudian memerintahkan ada langkah-langkah cepat di dalam sebulan ini untuk menunjukkan kepada publik bahwa negara, Kepolisian Negara, TNI, dan aparat-aparat pemerintah yang lain itu bertindak cepat dan hadir untuk ini ,” kata Mahfud.
Peran penting
Lebih lanjut, Menko Mahfud menyampaikan bahwa Indonesia punya peranan yang sangat penting dalam mengatasi TPPO di kawasan ASEAN. “Semua negara ASEAN meminta kepada kita Indonesia agar mengambil posisi kepemimpinan di dalam tindak pidana perdagangan orang ini, karena bagi mereka tindak perdagangan orang ini sudah begitu mengganggu kehidupan bernegara mereka, karena ini adalah kejahatan lintas negara dan sangat rapi kerjanya,” ujarnya.
Dalam upaya memberantas TPPO, pemerintah kerap terkendala berbagai hal, seperti birokrasi maupun pihak yang memberikan dukungan (backing) pada sindikat pelaku TPPO.
“Presiden tadi memerintahkan kepada Kapolri tidak ada backing-backing-an karena semua tindakan yang tegas itu di-backing oleh negara. Tidak ada backing-backing-an bagi penjahat, backing bagi kebenaran adalah negara, backing bagi penegakan hukum adalah negara,” ujarnya.
Pekerja ilegal
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP2MI), dalam tiga tahun terakhir telah menangani sekitar 94 ribu orang pekerja migran Indonesia (PMI) yang dideportasi dari negara-negara Timur Tengah maupun Asia. Dari jumlah tersebut, sekitar 90 persen di antaranya berangkat secara tidak resmi dan diyakini diberangkatkan oleh sindikat penempatan ilegal PMI.
Kemudian, menurut Kepala BP2MI Benny Rhamdani, jumlah jenazah PMI yang kembali ke Tanah Air kurang lebih 1.900 (setahun) dan jumlah PMI yang pulang karena sakit mencapai 3.600. Mereka banyak yang mengalami depresi, hilang ingatan, bahkan cacat secara fisik. “Selain karena penganiyaan, (PMI) yang ilegal tidak pernah mengantongi medical check up, termasuk tes psikologis sebagaimana yang diwajibkan pada mereka yang berangkat resmi,” katanya.
Benny mengungkapkan bahwa pada 2017, World Bank sudah memberi peringatan bahwa ada sembilan juta WNI yang bekerja di luar negeri, sedangkan data resmi SISKOP2MI (Sistem Komputerisasi Pelindungan Pekerja Migran Indonesia) menunjukkan kurang lebih hanya 4,7 juta. “Jadi asumsinya adalah ada 4,3 juta mereka orang Indonesia yang bekerja di luar negeri yang berangkat secara unprocedural dan diyakini oleh sindikat penempatan ilegal,” ujarnya.