Jakarta, FORTUNE – Kebijakan pemerintah memegang peranan penting dalam penanganan persoalan darurat pangan, seperti dalam hal kebijakan anggaran pertanian atau ketergantungan impor bahan pokok.
Pengamat dan juga Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas Santosa, mengatakan, darurat pangan berkaitan dengan produksi bahan pokok yang semakin terbatas. “Persoalannya ada di kesejahteraan petani, sekarang tanam padi rugi, jadi bagaimana mau tanam padi. Walau dalam 5 bulan terakhir ini agak tinggi, tapi sebelumnya rugi,” ujarnya saat dihubungi Fortune Indonesia, Rabu (5/7).
Menurutnya, keterbatasa produksi pangan di tengah permintaan masyarakat yang makin meningkat, dipengaruhi oleh banyak faktor. “Masalah lahan, konversi dari lahan pangan ke non-pangan yang semakin menurun, maupun kebijakan yang makin mengarah ke impor bahan pokok,” katanya.
Berpihak pada konsumen
Andreas mengatakan, kebijakan pemerintah Indonesia dalam 25 tahun terakhir masih berpihak pada konsumen dengan jargon pangan murah. Akibatnya, kebijakan pemerintah pun berkutat pada masalah penyediaan bahan pangan murah bagi masyarakat. Keran impor bahan pokok pun dibuka lebih besar dan tak fokus pada peningkatan produksi dalam negeri.
“Tergantung pemerintah dan presidennya, kalau masih as usual seperti 25 tahun terakhir dan nggak ada perbaikan, dan presiden selalu kampanye pangan murah, ya selesai. Tergantung political will, nggak usah ada program macam-macam. Persoalannya juga ada di Kementerian Keuangan, berani nggak naikkan tarif impor,” kata Andreas.
Potensi krisis pangan
Menurut Data Global Food Security Index 2022, di antara negara Asia Pasifik, Indonesia menempati posisi kesepuluh dan posisi ke-60 dunia, sebagai negara yang memiliki ketahanan pangan. Meski belum terlalu parah, namun nyatanya Indonesia banyak bergantung pada impor bahan pangan pokok.
Enam dari sembilan bahan pokok pangan di Indonesia, seperti beras, daging, susu, bawang putih, garam, susu, sangat tergantung pada impor, sehingga cukup rentan pada situasi global. Hal ini juga terjadi pada bahan pangan sekunder, seperti kedelai dan gandum yang juga bergantung pada impor.
Ketergantungan tinggi pada impor ini secara tak langsung juga berpengaruh pada fundamental ekonomi Indonesia yang akhirnya rentan terhadap gejolak yang terjadi di luar negeri, khususnya pada indikator inflasi yang berkenaan dengan perang Rusia-Ukraina misalnya. Kondisi ini membuat harga gandum melonjak, kemudian cuaca buruk di India dan dan Thailand pun berdampak pada naiknya harga beras.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2022, rerata pengeluaran per kapita penduduk Indonesia mencapai Rp1,33 juta, yang mana porsi untuk makanan mendominasi dengan angka Rp666 ribu (50,1 persen), sementara non-makanan Rp662 ribu (49,9 persen). Porsi pengeluaran makanan yang melampaui non-makanan untuk setiap bulannya ini, membuat tekanan terhadap inflasi makin besar.