Mendag Ungkap Impor Pangan Indonesia Makin Meningkat
Peningkatan dialami sejumlah komoditas pangan.
Jakarta, FORTUNE - Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, mengatakan pemerintah tengah berupaya mengurangi impor pangan.
Sebab, berdasarkan data yang dia pegang, angka impor komoditas pangan kini semakin meningkat.
Dia lantas membandingkan jumlah impor ketika menjadi anggota DPR pada 2004, dan saat ini ketika menjabat sebagai Menteri Perdagangan.
"Pada 2004, saya anggota DPR kita impor gandum aja 2–3 juta ton, sekarang kita impor gandum 13 juta ton," ujarnya dalam acara Peluncuran Gerakan Pangan Murah Serentak Nasional yang disiarkan secara virtual, Senin (26/6).
Peningkatan juga dialami impor gula pasir, yang telah mencapai 5 juta ton per tahun dibandingkan dengan 1 juta hingga 2 juta ton sebelumnya.
"Dulu impor garam enggak sampai 1 juta, sekarang mungkin 3 juta [ton]," katanya.
Kemudian, impor bawang putih sebelumnya hanya 25.000–30.000 ton pada 2004. Namun, sekarang impor komoditas tersebut mencapai hampir 600.000 ton per tahun.
Kenaikan volume juga terjadi pada sektor buah-buahan seperti kelengkeng dan jeruk. Secara umum, jumlah impor buah kini mencapai hampir 1 juta ton dibandingkan dengan 50.000 ton pada 2004.
"Oleh karena itu, saya minta arahan kepada Bapak Presiden [Joko Widodo] apakah boleh mengendalikan impor," agar produsen dalam negeri bisa diarahkan untuk mendongkrak produksinya, ujarnya.
Zulkifli sempat menyampaikan ingin mengatur tata kelola impor buah.
Indonesia dinilai mempunyai beraneka ragam jenis buah lokal yang perlu dikembangkan demi dapat memperbaiki daya saing buah lokal.
Sebab impor buah Indonesia meningkat
Ketua Komite Tetap Hortikultura Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Karen Tambayong, mengatakan alasan Indonesia bergantung pada buah impor adalah rendahnya produksi buah lokal. Pada 2019, nilai transaksi dari buah impor menyentuh lebih dari Rp21 triliun.
Menurutnya, terdapat lima faktor yang menyebabkan Indonesia tidak dapat menghasilkan lebih banyak buah.
Pertama, kurangnya hamparan lahan yang luas mengingat Indonesia adalah negara kepulauan.
Kedua, persebaran lahan produsen buah begitu luas, tapi belum memenuhi GAP (good agricultural practices). Akibatnya kualitas buah lokal menjadi tidak seragam.
Ketiga, biaya logistik terlampau tinggi. Itu membuat harga jual buah lokal menjadi kurang berdaya saing dan sulit terserap.
Terakhir, terjadi laju alih fungsi lahan yang cepat. "Alih fungsi lahan menjadi kian tak terkendali, di mana mengancam produksi hasil pertanian dan perkebunan," ujarnya.