Mengenal Dark Tourism dan Potensinya di Indonesia

Bisa jadi daya tarik bagi wisatawan lokal dan mancanegara.

Mengenal Dark Tourism dan Potensinya di Indonesia
Museum Tsunami Aceh. (dok. Kemenkeu)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Sektor pariwisata terus berkembang dengan berbagai keunikan baru dan inovasi yang tak henti dilakukan oleh para pelaku industri. Salah satu potensi yang menarik dan banyak diminati oleh masyarakat adalah Dark Tourism.

Meski jika diterjemahkan dark tourism berarti wisata gelap, namun tidak semua memiliki cerita kelam, ada juga konsep dark tourism menawarkan hal yang jauh lebih populer dan menarik.

Mengutip sejumlah sumber, berikut ini ulasan singkat tentang dark tourism.

Definisi

Revitalisasi yang sedang dilakukan Museum Benteng Vredeburg. (Fortuneidn/Bayu Satito)

Definisi soal dark tourism, menurut culturaobscura.com, pertama kali dicetuskan oleh akademisi di Departemen Hospitality, Tourism & Leisure Management dari Glasgow Caledonian University, John Lennon dan Malcolm Foley, pada 1996.

Menurut mereka, dark tourism dapat disebut juga dengan wisata kelam yang mengacu pada kegiatan pariwisata ke berbagai tempat yang menyimpan kisah tragedi atau berhubungan dengan kematian masal.

Lennon dan Foley mengaitkan dark tourism dengan tindakan atau situasi tidak manusiawi yang dilakukan dialami oleh sebagian individu maupun kelompok, tercatat sejarah, dan bagaimana situasi ini ditafsirkan oleh para pengunjung kegiatan pariwisata tersebut. Saat ini, dark tourism sendiri banyak disebut dengan ungkapan seperti Thanatourism, Grief tourism, maupun Morbid tourism.

Biasanya, dark tourism berkaitan dengan sejarah atau kisah nyata yang pernah terjadi dan memiliki latar menyedihkan atau menyeramkan, seperti perang, bencana, dan kisah-kisah pemberontakan yang banyak memakan korban jiwa. Namun, dalam perkembangannya, dark tourism kini juga berhubungan dengan hal-hal mengerikan, seperti tempat terbengkalai, kota berhantu, kuburan, dan banyak lokasi menyeramkan lainnya.

Oleh sebab itu, dalam publikasi yang lebih baru yang dituliskan di tourismteacher.com, Kevin Fox Gotham mendefinisikan dark tourism sebagai kegiatan berkunjung ke tempat-tempat yang ditandai dengan kesusahan, kekejaman, kesedihan, dan rasa sakit. Sebagai komponen dark tourism yang lebih spesifik, wisata bencana bisa merepresentasikan situasi di mana produk pariwisata dihasilkan dari sebuah bencana besar maupun peristiwa traumatis.

Banyak disukai

Guguran lava pijar Gunung Merapi terlihat dari arah Turi, Sleman, DIY. (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)

Dark tourism berkembang dan makin diminati publik. Bagi banyak penikmat dark tourism, kegiatan di tempat ini bisa membawa mereka secara emosional di tempat terjadinya tragedi. Hal ini memberikan sensasi tersendiri, terutama bila pengunjung adalah memiliki ketertarika pada sejarah dan budaya terkait, sehingga sering merenungkan peristiwa tersebut.

Wisata gelap memiliki hubungan erat dengan wisata edukasi dan ini adalah motivasi dominan yang paling sering ditemui. Meskipun dark tourism mungkin bukan pengalaman rekreasi yang menyenangkan, banyak orang menikmati aspek edukasi.

Biasanya, pengunjung situs dark tourism berasal dari kelompok sosio-demografis yang luas dengan ragam motivasi yang berbeda, mulai dari pendidikan, keinginan untuk memahami kejadian di masa lalu, sampai keinginan untuk merasakan sensasi yang berbeda atau belum pernah dialami.

Spektrum kekelaman

A Dark Tourism Spectrum: Towards a typology of death and macabre related tourist sites, attractions and exhibitions. Stone, Philip-2006. (tourismteacher.com)

Untuk lebih memahami dark tourism, tourismteacher.com membagi aktivitas yang ditampilkan ke dalam bentuk spektrum, dari gelap ke terang. Spektrum ini digagas dalam sebuah tulisan berjudul A Dark Tourism Spectrum: Towards a typology of death and macabre related tourist sites, attractions and exhibitions karya Philip Stone (2006).

Pada sisi paling gelap, dark tourism berkaitan dengan kisah yang ekstrem dan serius. Biasanya hal ini berhubungan dengan edukasi, seperti pelajaran bencana nuklir Chernobyl, kisah tembok Berlin, atau Killing Fields di Kamboja. Aktivitas di sisi skala ini kerap dikaitkan dengan pengalaman autentik, di mana wisatawan mengunjungi situs sejarah yang sebenarnya, bahkan bisa dapat kesempatan untuk berbicara dengan orang-orang yang terlibat.

Semakin ke skala yang lebih terang, dark tourism menampilkan aktivitas yang lebih komersial, seperti wahana hiburan bertema Jack the Ripper atau drama komedi yang bertema Wabah Hitam. Pada sisi terang ini, biasanya tujuan pariwisata lebih mengacu pada kesenangan para pengunjung untuk bisa menikmati kegiatan yang ditawarkan, bukan pada informasi atau referensi sejarah tertentu.

Potensi di Indonesia

Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya. (dok. Kemendikbud)

Sebagai negara dengan kekayaan budaya dan sejarah, sudah tentu Indonesia sangat berpotensi menghadirkan banyak daya tarik dark tourism. Menurut Kementerian Luar Negeri (Kemlu) di laman resminya, tidak sedikit daerah-daerah di Indonesia menjadi bagian sejarah kelam dan peristiwa penting yang sarat akan tragedi di masa lalu.

Misalnya, bencana tsunami Aceh, Museum Lubang Buaya, Monumen bencana letusan Gunung Merapi, Monumen Bom Bali, acara Rambu Solo–acara pemakaman khas di Tana Toraja, Sulawesi Selatan–maupun banyak bangunan-bangunan bersejarah lain yang masih terjaga seperti Goa Jepang di Bandung atau Hotel Yamato di Surabaya.

Perjalanan sejarah yang panjang dari Indonesia, dengan berbagai kisah dan budaya yang sangat beragam, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara di dunia dengan potensi dark tourism yang cukup besar.

Peristiwa kelam bersejarah, seperti pembantaian etnis Cina oleh VOC di kawasan Glodok, kisah G30S/PKI, sampai bencana-bencana seperti letusan gunung Tambora, bisa menjadi latar menarik untuk dijadikan dark tourism yang berprospek tidak hanya di dalam negeri, tapi juga mancanegara.

Magazine

SEE MORE>
The Art of M&A
Edisi November 2024
Businessperson of the Year 2024
Edisi Oktober 2024
Turning Headwinds Into Tailwinds
Edisi September 2024
Indonesia's Biggest Companies
Edisi Agustus 2024
Human-AI Collaboration
Edisi Juli 2024
The Local Champions
Edisi Juni 2024
The Big Bet
Edisi Mei 2024
Chronicle of Greatness
Edisi April 2024

Most Popular

Apa itu OECD, Organisasi Global yang Bakal Diikuti Indonesia?
William Tanuwijaya Jual Saham GOTO Miliknya Lagi, 1,1 Miliar Unit
Kapan Saham MR. DIY Bisa Dibeli? Ini Tanggal dan Jadwalnya
Bakmi GM Dikabarkan Telah Diakuisisi Grup Djarum
Matahari Mau Tutup 13 Gerai hingga Akhir Tahun Ini
Prajogo Pangestu Tambah Kepemilikan di BREN, Rogoh Rp8,2 M