Jakarta, FORTUNE – Pemerintah menargetkan Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK)–khususnya di e-commerce–meningkat dari level ‘mampu’ di nilai 57,04, menjadi level ‘kritis’ di angka minimal 60 pada tahun ini.
Menurut Ketua Komisi Komunikasi dan Edukasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Heru Sutadi, hal ini merupakan bagian upaya menuju indeks di atas 80, yang berarti masyarakat berada pada level ‘berdaya’.
“Inovasi, kolaborasi, dan edukasi menjadi kunci agar ekonomi digital berkembang. Pelaku usaha mendapat cuan dan tentunya konsumen juga dilindungi, serta dipenuhi hak-haknya,” ujarnya dalam diskusi publik pemberdayaan konsumen, Rabu (5/6).
Konsumen pada IKK level ‘kritis’ merujuk pada karakter yang selalu mencari kejelasan atas produk dan jasa yang dibeli, serta memahami dan dapat melindungi hak-haknya selama proses transaksi tersebut. Terlebih, di era digital yang serba cepat dan instan ini, interaksi fisik antara penjual dan pembeli secara langsung, dinilai minim.
Menurut Heru, edukasi dan sosialisasi pada konsumen agar menjadi konsumen yang berdaya sama pentingnya dalam meningkatkan kualitas layanan, kemampuan digital dan pemenuhan hak konsumen oleh pelaku usaha di ekosistem e-commerce, mengingat platform tersebut merupakan bagian ekonomi kerakyatan yang menggerakkan roda perekonomian nasional.
“Agar bisnis berkembang serta kepercayaan konsumen terjaga dan bahkan meningkat, semua stakeholder harus saling bekerja sama agar e-commerce yang berkembang memberikan manfaat maksimal bagi semua,” kata Heru.
Tanggung jawab kolektif
Untuk mewujudkan konsumen yang berdaya, Wakil Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Budi Primawan, mengungkapkan seluruh pihak harus menyadari jika ini merupakan tanggung jawab kolektif. “Itu sebabnya duduk bersama dan berdiskusi mencari cara mewujudkan konsumen Indonesia yang berdaya tentulah dibutuhkan,” katanya.
Baik penjual, platform, konsumen, serta regulator seperti pemerintah, menurut Budi, memiliki peran yang sama penting untuk bisa mewujudkan ekosistem e-commerce yang mumpuni. Apalagi, Indonesia memiliki potensi pasar yang didukung hingga lebih dari 270 juta penduduk, sehingga pemberdayaan konsumen di Indonesia bisa dianggap sebagai prioritas karena merupakan aset penting pertumbuhan ekonomi di bidang perdagangan.
Kemudahan yang ditawarkan era digital, kata Budi, harus dimanfaatkan untuk bisa mendapatkan semua informasi yang dibutuhkan sebelum melakukan transaksi. “Dengan demikian, konsumen akan paham terkait hak dan kewajibannya dalam transaksi. Misalnya hak mendapat produk yang sesuai kebutuhan, serta memastikan keamanan transaksi sehingga terhindar dari ancaman kejahatan siber,” ujarnya.
Upaya konkret
Sementara itu, Deputy Chief Customer Officer Lazada Indonesia, Farid Suharjo, upaya edukasi konsumen harus disertai dukungan dalam bentuk lain yang lebih konkret, seperti fitur dan layanan yang memberikan kemudahan bertransaksi, sampai memberikan kenyamanan dan ketenangan dalam berbelanja.
“Contohnya saja fitur pengembalian barang yang bisa digunakan konsumen dengan mudah apabila barang yang diterima tidak sesuai dengan barang yang dipesan, dengan pengembalian dana secara cepat. Jadi sebenarnya konsumen tidak perlu khawatir,” ujar Farid.
Selain itu, mulai sejak awal mencari produk yang diinginkan, membaca deskripsi produk, membandingkan harga dan membaca review para pembeli lainnya, hingga memutuskan untuk membeli dan melakukan pembayaran, konsumen harus benar-benar memahami seluruh proses agar transaksi bisa berjalan lancar.