Jakarta, FORTUNE – Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Salahuddin Uno memperkirakan pemerintah berpotensi kehilangan US$1.500 atau setara Rp24,48 juta (kurs Rp16.318,99 per dolar AS) per orang dari tiap kunjungan, bila menerapkan Cukai untuk tiket Konser.
Menurutnya, wacana ini harus benar-benar memperhitungkan biaya dan manfaat dari sebuah ekosistem, seperti konser. “Narasi yang kita mainkan ke luar negeri adalah kita berdaya saing. Tiket konser kita sekarang jauh lebih mahal daripada negara-negara lain dan pengelolaan dari ekosistem juga belum efisien,” ujar Sandiaga kepada media, usai Weekly Brief Kemenparekraf, Senin (29/7).
Meski pemerintah sedang membutuhkan ruang fiskal yang lebih luas, namun penerapan cukai pada tiket konser dinilai kurang tepat. ”Saya melihat terkadang ’menembak’ kaki kita sendiri. Kita lagi bangun di satu sisi, kita kirim narasi negatif pada sisi lain,” kata Menparekraf. “Jangan sampai merugikan.”
Di tengah keluhan pelaku industri konser saat ini soal beban pajak yang cukup berat, isu cukai pada konser dinilai bakal memberatkan. Apalagi, ini diterapkan dalam kondisi di mana Indonesia tengah menaikkan daya saing sebagai venue konser internasional, dalam kompetisi dengan negara tetangga, seperti Singapura.
Wacana cukai
Sebelumnya, Direktur Teknis dan Fasilitas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu, Iyan Rubianto, mengatakan bahwa cukai untuk tiket konser bisa saja jadi opsi pendapatan cukai untuk negara, karena tingginya peminat acara musik di Tanah Air. Hal ini juga bisa diterapkan dengan produk konsumsi harian lain, seperti tisu dan deterjen.
“Ini tiket hiburan, kayak kemarin itu (konser Coldplay) kan sold out. Sampai ada konser lagi di Singapura dan masih dibeli. Jadi, masyarakat Indonesia itu kaya-kaya. Makanya, saya rasa itu perlu dinaikkan," katanya dalam sebuah umum di PKN STAN dengan tema Menggali Potensi Cukai, baru-baru ini.
Namun, wacana ini kemudian ‘diluruskan’ oleh Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Kemenkeu, Nirwala Dwi Heriyanto, yang menyampaikan bahwa wacana ini masih berupa usulan dan belum masuk kajian pemerintah.
"Prosesnya dimulai dari penyampaian rencana ekstensifikasi cukai ke DPR, penentuan target penerimaan dalam RAPBN bersama DPR, dan penyusunan peraturan pemerintah sebagai payung hukum pengaturan ekstensifikasi tersebut," katanya dalam pernyataan resmi, Rabu (24/7).
Barang yang dikenakan cukai menurutnya harus memiliki kriteria sebagai barang yang mempunyai sifat atau karakteristik konsumsinya perlu dikendalikan, seperti rokok atau minuman beralkohol. Selain itu pengenaan cukai juga dilakukan pada barang yang pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
“Pemerintah sangat prudent dan betul-betul mempertimbangkan berbagai aspek, seperti kondisi ekonomi masyarakat, nasional, industri, aspek kesehatan, lingkungan, dan lainnya,” ujar Nirwala.