Jakarta, FORTUNE – Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani, menyebutkan bahwa realisasi Belanja Negara per 15 Maret 2024 atau sekitar 2,5 bulan pertama tahun ini mencapai Rp470,3 triliun atau melonjak 18,1 persen dari periode yang sama di tahun lalu (year on year/YoY).
“Kenaikan yang cukup tinggi terutama karena Pemilu yang terjadi di Februari, jadi banyak belanja untuk pemilu, kalau dibandingkan tahun lalu tidak ada pemilu, jadi terlihat ada kenaikan,” ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI, Selasa (19/3).
Pertumbuhan belanja negara ini terlihat dari belanja pemerintah pusat (BPP) yang mencapai Rp328,9 triliun atau naik 17 persen, terutama dari sisi Kementerian/Lembaga (K/L) yang mencapai Rp165,4 triliun. Dalam siklus pemilu lima tahunan, balanja negara biasanya mengalami peningkatan tajam, khususnya bulan Januari dan Februari.
Selama 2022-2024, pemerintah menganggarkan Rp71,3 triliun untuk belanja pemilu. Sementara khusus 2024, pemerintah sudah menganggarkan Rp38,3 triliun. Adapun, alokasi pemilu untuk 2022 senilai Rp3,1 triliun dan realisasi penggunaan anggaran ini di tahun 2023 mencapai Rp29,9 triliun.
Tetap surplus
Meskipun demikian, Sri Mulyani mengatakan bahwa kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (ABPN) tetap surplus hingga Rp22,8 triliun (per 15 Maret 2024) atau mencapai 0,1 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Namun, angka ini menurun cukup tajam, bila dibandingkan surplus yang terjadi tahun lalu, dengan capaian Rp122,9 triliun.
Sementara, realisasi APBN hingga pertengahan Maret ini terdiri dari penerimaan yang mencapai Rp493,2 triliun–17,6 persen dari target Rp2.802,3 triliun. Sementara, belanja negara yang mencapai Rp470,3 triliun merupakan 14,1 persen dari target senilai Rp3.325,1 triliun.
Strategi utang
Sri Mulyani mengatakan, pemerintah tak ingin ambil risiko menggunakan surplus ini untuk pembiayaan anggaran, karena kondisi global yang belum stabil dan tak menentu. Oleh karena itu, pemerintah tetap menarik utang dengan penerbitan surat berharga negara (SBN) di awal tahun.
Menurutnya, langkah ini tidak dilakukan saat APBN defisit, karena potensi dinamika pasar yang tidak memberikan dampak terbaik. "Jadi kalau bapak/ibu lihat kenapa dalam situasi surplus kita sudah melakukan issuance, karena memang strategi issuance kita adalah untuk satu tahun," katanya kepada para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Kami sangat oportunistik dan pragmatis melihat situasi pasar.”