Jakarta, FORTUNE – Media Inggris, The Economist merilis pantauan Survei Elektabilitas ketiga calon presiden (Capres) yang maju dalam pemilihan umum (Pemilu) Indonesia 2024. Menariknya, survei ini mengalami pembaruan secara bulanan maupun harian, mirip seperti pergerakan saham atau mata uang kripto.
“The Economist sedang memantau pemilu. Di sini Anda akan menemukan jajak pendapat terkini, panduan singkat untuk masing-masing kandidat, dan penjelasan tentang arti pemilu Indonesia bagi negara dan dunia,” begitu tulis The Economist dalam ulasannya, seperti dikutip Jumat (26/1).
Berdasarkan laporannya yang berjudul ‘Who will be the next president of Indonesia?’, The Economist mulai memantau elektabilitas capres Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo, sejak Januari 2023 hingga 16 Januari 2024. Meski begitu, The Economist tidak mengungkapkan secara detail mengenai metodologi yang digunakan atau informasi mengenai para respondennya.
Kantor berita tersebut hanya memperkirakan bahwa jumlah pemilih dalam Pemilu Indonesia 2024 akan tinggi. “Di antara (sekitar) 204 juta warga Indonesia yang memenuhi syarat di negara kepulauan yang luas dengan (kurang lebih) 14.000 pulau berpenghuni. Indonesia adalah negara demokrasi yang muda dan antusias,” tulis The Economist.
Pergerakan voting
Dalam pantauan persentase pilihan responden yang dilaporkan, The Economist mencatat per 11 Januari 2023, Ganjar memimpin dengan 36 persen voting sementara, sedangkan Prabowo dan Anies berbagi persentase, masih di angka 24 persen pemilih. Namun, seiring waktu berjalan dan dinamika yang terjadi, per data survei 16 Januari 2024 yang diperbarui 26 Januari 2024, Prabowo melesat dengan raihan 47 persen (median). Sementara Ganjar dan Anies yang berbagi angka sama, yakni 24 persen.
Sebagai catatan, pada pembaruan di tanggal 25 Januari 2024, The Economist bahkan sempat menunjukkan elektabilitas Prabowo mencapai 50 persen. Sedangkan, Ganjar di angka 23 persen dan Anies 21 persen. Namun, hasil ini berubah di pembaruan berikutnya. Tampaknya, hasil ini cukup dinamis layaknya kripto atau nilai tukar.
Secara lebih terperinci, The Economist juga menjelaskan batas bawah dan atas dari setiap polling capres yang didapatkan. Dari data terakhir, Prabowo Subianto berada di urutan pertama dengan rerata median 47 persen, batas bawah 42 persen dan batas atas 52 persen. Ganjar Pranowo menyusul di posisi kedua dengan rerata 24 persen, memiliki batas bawah 18 persen dan batas atas 31 persen. Senilai dengan Ganjar, Anies Baswedan tercatat memiliki rerata 24 persen dan batas bawah 18 persen, namun untuk batas atas, Anies satu poin di bawah Ganjar, yakni 31 persen.
“Jika tidak ada yang menang lebih dari 50 persen pada putaran pertama, kontestasi akan dilanjutkan pada bulan Juni, ”Sebagai catatan, editor The Economist menuliskan bahwa laporan ini terakhir diperbarui pada 26 Januari 2024, dan pada sehari sebelumnya ia menuliskan, “Pelacak ini telah diperbarui untuk mengecualikan jajak pendapat yang kami anggap tidak dapat diandalkan,” tulis mereka.
Profil capres
Selain persentase polling sementara, media internasional ini juga menyajikan profil singkat ketiga capres Pemilu Indonesia 2024. Capres nomor urut satu, Anies Baswedan, disebut sebagai mantan Menteri Pendidikan dan Gubernur DKI Jakarta yang berpengalaman dalam urusan luar negeri dan ingin mendapat pengaruh Indonesia di kawasan.
Sementara, capres kedua, Prabowo Subianto, digambarkan sebagai seorang mantan Komandan Pasukan Khusus yang akan melanjutkan warisan pembangunan Presiden Joko Widodo dengan menganut paham ‘Jokowinomics’, atau pembangunan berbasis infrastruktur. Sedangkan, capres nomor urut tiga, Ganjar Pranowo, dituliskan sebagai seorang teknokrat yang ramah dan menggantungkan keberhasilannya dalam Pemilu 2024 pada kampanye akar rumput, termasuk menggunakan pendekatan kampanye blusukan dari Jokowi.
Gambaran metodologi
Meski tak menyebut bagaimana metodologi dan cara pemilihan respondennya, namun The Economist pernah menuliskan bagaimana mereka melakukan jajak pendapat di Amerika Serikat, dengan bekerja sama dengan lembaga survei YouGov, mungkin ini bisa jadi sebuah gambaran.
Pada artikel tersebut, The Economist mengeklaim menggunakan lebih dari 10.000 orang yang bersedia untuk menjadi responden pada survei yang dibuat. Adapun para responden direkrut melalui tiga cara:
- Melalui email ke orang-orang dari daftar email komersial, dan mengundang mereka untuk bergabung dalam panel—menetapkan hadiah dan pembayaran serta ketelitian akademis dengan mana penelitian itu akan dilakukan.
- Melalui periklanan, pada prinsipnya menggunakan Google dan Overture, yang didalamnya terdapat iklan ditempatkan pada berbagai macam kata kunci non-politik—misalnya, kata-kata yang berhubungan dengan berkebun mengundang orang untuk bergabung dalam jajak pendapat berhadiah tentang berkebun. Di akhir responden survei ditanya apakah mereka ingin bergabung dengan panel yang lebih luas survei dengan insentif tunai dan hadiah lebih lanjut. Hal ini dilakukan untuk merekrut responden dari berbagai latar belakang dan kepentingan.
- Menghubungi orang-orang yang pernah mengikuti YouGov sebelumnya, dengan proyek yang sampelnya mencakup responden di luar United Kingdom (UK). Mereka yang memberi tahu kami bahwa mereka tinggal di Amerika adalah orang-orang yang sudah diundang.
Menurut The Economist, para responden yang bergabung, berasal dari latar belakang yang sangat beragam, baik secara demografi dan informasi lainnya. Sampel yang seimbang dipilih dari panel untuk setiap survei.
Survei umumnya mencakup topik non-politik dan juga politik. Data diberi bobot berdasarkan usia, jenis kelamin, ras, dan pendapatan. “Kami juga melacak dan menimbang berdasarkan suara yang dilaporkan responden sebelumnya. Pembobotan untuk hal ini tidak didasarkan pada hasil aktual namun pada angka yang disesuaikan berdasarkan penelitian kami mengenai recall voting,” tulis The Economist.