Bappenas Sebut 20 Juta Masyarakat Kekurangan Asupan Kalori

Perlunya sosialisasi alternatif pangan.

Bappenas Sebut 20 Juta Masyarakat Kekurangan Asupan Kalori
Diskusi ketahanan pangan di Forum Bumi kedua di jakarta, Kamis (10/10)/Dok. yayasan kehati
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE -  Koordinator Bidang Pangan di Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian PPN/Bappenas, Ifan Martino, mengungkapkan bahwa sekitar 20 juta orang di Indonesia masih belum mencukupi kebutuhan pangan sesuai dengan standar kalori.

Ia juga menambahkan bahwa pada tahun 2045, sebanyak 320 juta penduduk Indonesia akan memerlukan pasokan pangan, namun sumber daya pangan domestik masih terbatas. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dua pertiga lahan pertanian di Indonesia sudah tidak lagi produktif.

“Sumber pangan kita terbatas, air kita terbatas, jadi ada ketidaksesuaian antara pasokan dan permintaan,” ujarnya, dalam Forum Bumi bertajuk “Bagaimana Masa Depan Ketahanan dan Keanekaragaman Pangan Indonesia?” yang digelar Yayasan KEHATI bersama National Geographic Indonesia di Jakarta, Kamis (10/10).

Ia juga menyoroti bahwa banyak kabupaten/kota di Indonesia yang masih rentan terhadap kerawanan pangan akibat degradasi ekosistem yang disebabkan oleh perubahan iklim, emisi gas rumah kaca, serta praktik produksi yang belum sepenuhnya berkelanjutan.

“Pupuk dan pestisida juga penggunaannya masih belum sesuai dengan rekomendasi yang tepat, untuk itu kita perlu merancang praktik produksi pertanian yang berkelanjutan berbasis konservasi dan presisi,” katanya.

Studi dari World Food Programme (WFP) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga menunjukkan bahwa 48 persen masyarakat Indonesia belum mampu mengakses diet yang sehat, sebagian karena jumlah komoditas pangan yang dikonsumsi semakin berkurang. Ifan mengatakan, sejak 2009 ke 2020 ada perubahan pola konsumsi.

"Perubahan utamanya di daerah timur, karena yang tadinya lebih banyak komoditas, terakhir tinggal tiga komoditas, jadi jumlah komoditas yang dikonsumsi masyarakat kita makin mengecil,” ujarnya.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, kata Ifan, pemerintah telah menyusun Undang-Undang (UU) No. 59 tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2024-2045, yang di dalamnya memuat rencana untuk memperkuat Ketahanan Pangan lokal dengan memanfaatkan potensi daerah. 

Selain itu, dalam penyediaan makan bergizi gratis, Bappenas juga merancang desain redistribusi pangan untuk mengurangi pemborosan pangan atau food waste. Ifan menyebutkan, terkait food waste, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), per orang di Indonesia menyumbang 115-184 kg sampah makanan per orang per tahun, yang apabila dikonversi dalam bentuk rupiah, sekitar Rp200-551 triliun per tahun.  

Perlunya alternatif pangan

Dalam kesempatan yang sama, menanggapi persoalan ketahanan pangan Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kemendikbud, Sjamsul Hadi, mengatakan masyarakat Indonesia seharusnya bisa kenyang dengan tidak hanya mengandalkan makanan yang terbuat dari beras dan terigu. Sebab, banyak jenis pangan lain di Indonesia yang bisa menjadi sumber karbohidrat penduduk lokal di berbagai daerah.

Sayangnya, ada anggapan bias dari masyarakat Indonesia di wilayah barat hingga timur bahwa makanan pokok mereka haruslah nasi atau terbuat dari beras. Berdasarkan data historis sejak tahun 1954, kebutuhan beras sebagai sumber karbohidrat di Indonesia yang semula 53,5 persen, pada 2017 naik menjadi 74,6 persen.

Kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap gandum (bahan tepung terigu) sebagai sumber karbohidrat juga telah meningkat pesat. Semula persentasenya tidak mencapai 5 persen pada tahun 1954 kemudian menjadi 25,4 persen pada tahun 2017 dan naik lagi menjadi 28 persen pada 2022.  

"Kebutuhan beras dan gandum saat ini menjadi tren yang dominan," ujarnya. Hal itu berdampak pada pergeseran pola konsumsi ke beras dan terigu ini meningkatkan ketergantungan Indonesia terhadap pangan dari impor dan masyarakat lokal di pulau-pulau kecil harus membayar beras lebih mahal.

Menurut Sjamsul, sistem pangan Indonesia harus berbasis pada keberagaman Nusantara, persisnya pada keragaman sumber hayati dan budaya pangan negeri ini. Sebagai contoh, masyarakat di daerah timur bisa mengkonsumsi sagu atau sorgum seperti leluhur mereka.

"Sebenarnya Indonesia ini sangat kaya sekali, terdapat 72 varietas sumber karbohidrat, dan juga kacang-kacangan mencapai 100 varietas dan juga 450 varietas buah-buahan. Nah ini sebenarnya adalah momen untuk membudayakan kembali, untuk kembali ke pangan lokal," jelas Sjamsul.

Manajer Program Pertanian Yayasan KEHATI, Puji Sumedi Hanggarawati, juga sependapat dengan Sjamsul bahwa kita perlu mengubah jargon "kalau tidak makan beras, berarti belum makan." Jargon ini sudah meluas ke seluruh Indonesia.

"Artinya itu sudah seragam banget, dari ujung barat sampai ujung timur. Meskipun mereka punya kekayaan pangan yang tadi, sumber karbohidratnya banyak dan beragam," ujar Puji.

Ia juga mengingatkan potensi lunturnya pemanfaatan sumber pangan lokal di Indonesia bisa membuat varietas tanaman tersebut lenyap. "Ketika pangan lokal ini hilang maka budayanya hilang dan terlebih lagi keanekaragaman hayati ini juga hilang," katanya.

Magazine

SEE MORE>
The Art of M&A
Edisi November 2024
Businessperson of the Year 2024
Edisi Oktober 2024
Turning Headwinds Into Tailwinds
Edisi September 2024
Indonesia's Biggest Companies
Edisi Agustus 2024
Human-AI Collaboration
Edisi Juli 2024
The Local Champions
Edisi Juni 2024
The Big Bet
Edisi Mei 2024
Chronicle of Greatness
Edisi April 2024

Most Popular

Harga Saham Bank Rakyat Indonesia (BBRI) Hari Ini, 21 November 2024
Beban Kerja Tinggi dan Gaji Rendah, Great Resignation Marak Lagi
Terima Tawaran US$100 Juta Apple, Kemenperin Tetap Tagih Rp300 Miliar
Harga Saham GoTo Group (GOTO) Hari Ini, 21 November 2024
Siapa Pemilik Grab? Perusahaan Jasa Transportasi Terbesar
Tolak Wacana PPN 12 Persen, Indef Usulkan Alternatif yang Lebih Adil