Jakarta, FORTUNE - Di tengah penurunan Daya Beli masyarakat akibat tekanan ekonomi, fenomena Lipstick Effect muncul sebagai respons unik konsumen ketika menghadapi krisis ekonomi, yakni konsumen akan lebih bersedia membeli barang mewah yang lebih murah daripada menghabiskan tabungan untuk sesuatu yang besar.
Dalam konferensi pers "Indonesia Market Outlook 2025: Kelas Menengah Hancur, Masihkah Bisnis Mantul?" Yuswohady, Managing Partner Inventure menyampaikan bahwa banyak terjadi lipstick effect.
Menurutnya fenomena lipstick effect mencerminkan keinginan untuk tetap merasa "mewah" dan memanjakan diri, meski di tengah keterbatasan finansial, dengan memilih produk yang lebih terjangkau tetapi tetap memberikan rasa kepuasan.
“Jadi di masa krisis, muncul namanya lipstick effect, orang akan cenderung spending ke hal-hal mewah tapi sifatnya lebih affordable. Misalnya, dine-out di mal,” kata Yuswohady.
Kelas menengah pangkas pengeluaran
Potret lipstick effect selaras dengan riset Inventure yang menyebutkan di tengah ketidakstabilan ekonomi, banyak dari kelas menengah yang terpaksa memotong anggaran demi perawatan kecantikan.
Berdasarkan hasil riset pos pengeluaran yang paling besar dan prioritas dipangkas adalah salah satunya produk skincare premium. Meskipun demikian, produk skincare affordable masih tetap akan dipertahankan.
Selain itu, menariknya di tengah penurunan daya beli, biaya untuk makan di luar merupakan pos pengeluaran yang paling kecil dipangkas dan tidak prioritas dipangkas, disusul pendidikan non-formal/tambahan.
Kelas menengah bawah lebih rentan
Lebih jauh, riset yang Inventure yang melibatkan 450 responden ini juga mengungkap lebih dalam tentang kelas menengah yang mengalami penurunan daya beli. Di tengah ketidakpastian ekonomi dan deflasi, sebanyak 51 persen kelas menengah merasa tidak mengalami penurunan daya beli, sementara sebesar 49 persen merasa bahwa daya beli mereka menurun signifikan. Dari angka 49 persen ini, terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok aspiring middle class dan middle class.
“Ada fakta penurunan daya beli kelas menengah, yakni sebesar 49 persen. Ini nyaris setengahnya. Tetapi, siapa saja mereka? Mereka adalah aspiring middle class,” kata Yuswohady.
Sebanyak 67 persen responden dari kelompok aspiring middle class ini melaporkan bahwa daya beli mereka menurun, sedangkan untuk middle class hanya 47 persen. Artinya, aspiring middle class (kelas menengah bawah) adalah kelompok yang paling rentan terhadap penurunan daya beli dibanding kelas middle class. Ini menunjukkan bahwa tekanan ekonomi saat ini lebih dirasakan oleh kelompok aspiring middle class dibandingkan dengan kelas middle class.
Lebih lanjut, ada tiga faktor utama yang membuat daya beli mereka turun adalah kenaikan harga kebutuhan pokok (85 persen), mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan (52 persen), serta pendapatan yang stagnan (45 persen).