Beda Angka Utang Minyak Goreng, Mendag Minta Audit Ulang BPK dan BPKP

Perbedaan hingga ratusan miliar.

Beda Angka Utang Minyak Goreng, Mendag Minta Audit Ulang BPK dan BPKP
Petugas melakukan persiapan untuk pengiriman minyak goreng Minyakita yang telah dikemas dalam kontainer ke Indonesia bagian timur, di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Kamis (11/8). (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Polemik soal utang minyak goreng masih berlanjut. Menteri Perdagangan (Mendag), Zulkifli Hasan mengatakan terdapat perbedaan angka tagihan rafaksi minyak goreng yang dilakukan auditor independen, PT Sucofindo, dan pelaku usaha.

Menurut Zulkifli, jumlah tagihan yang diajukan oleh pelaku usaha mencapai Rp812 miliar, sementara hasil dari verifikasi PT Sucofindo mencapai Rp474 miliar. Dengan begitu, perbedaannya mencapai Rp338 miliar.

Untuk menindaklanjuti persoalan utang itu, Zulkifli mengatakan telah berkorespondensi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk mengaudit ulang utang tersebut. "Karena yang yang bayar bukan kita, tapi BPDPKS. Sekali lagi kami minta audit dari auditor negara," kata Zulkifli di hadapan Komisi VI DPR RI, Selasa (6/5).

Perbedaan angka, ujar Zulkifli, disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya klaim penyaluran yang tidak dilengkapi bukti hingga tingkat pengecer, biaya distribusi yang tidak dapat diyakini, hingga penyaluran yang melebihi tenggat waktu.

Fatwa Kejagung belum jelas

Sebelumnya, Zulkifli mengatakan kementeriannya telah meminta pendapat hukum atau legal opinion dari Kejaksaan Agung (Kejagung) perihal rafaksi minyak goreng tersebut.

Pasalnya, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 3 tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, yang sebelumnya mengatur soal rafaksi tersebut telah dihapus.

Kementerian Perdagangan mengaku telah mendapatkan pendapat hukum dari Kejagung, tapi Zulkifli mengatakan isinya belum cukup jelas. Alhasil, Kemendag memutuskan audit akan dilakukan oleh auditor negara.

"Peraturannya sudah enggak ada. Kita minta fatwa yang terang, [tapi] fatwanya kurang terang," ujar Zulhas.

Lantaran bingung dengan pendapat hukum dari Kejagung serta perbedaan angka yang diklaim oleh pengusaha, Zulkifli belum bisa mengarahkan BPDPKS untuk membayar rafaksi minyak goreng. 

Permendag No.3/2022 sudah tidak berlaku setelah diterbitkannya Permendag No.6/2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit. Jika pemerintah, dalam hal ini Kemendag, bersikeras untuk tetap menjadikan pendapat hukum Kejagung, ada satu hal yang harus diperhatikan, yakni persetujuan penugasan.

Magazine

SEE MORE>
Investor's Guide 2025
Edisi Januari 2025
Change the World 2024
Edisi Desember 2024
The Art of M&A
Edisi November 2024
Businessperson of the Year 2024
Edisi Oktober 2024
Turning Headwinds Into Tailwinds
Edisi September 2024
Indonesia's Biggest Companies
Edisi Agustus 2024
Human-AI Collaboration
Edisi Juli 2024
The Local Champions
Edisi Juni 2024

Most Popular

Emas Menguat Setelah Data Inflasi AS Lebih Rendah Dari Ekspektasi
TikTok Diblokir Mulai 19 Januari 2025, Pengguna AS Beralih
WTO Buktikan Uni Eropa Diskriminasi Minyak Sawit Indonesia
Daftar 10 Saham Blue Chip 2025 Terbaru
Openspace Himpun Dana US$165 Juta, Siap Perluas Investasi Startup
Suspensi Saham RATU Resmi Dicabut, Jadi Top Gainers